Oleh: Timboel Siregar (Pengamat Ketenagakerjaan/Sekjen OPSI)
Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Dalam rilisnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) meyakini Perpu No. 2 Tahun 2022 sebagai bukti komitmen pemerintah dalam memberikan pelindungan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha untuk menjawab tantangan perkembangan dinamika ketenagakerjaan.
Menurut saya pernyataan Bu Menaker bahwa Perpu No. 2 memberikan pelindungan kepada pekerja dan pengusaha adalah tidak tepat. Hadirnya Perpu No 2 tahun 2022 sebenanya menyumbat semangat pembahasan ulang UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya.
Putusan MK memerintahkan pelibatan masyarakat dakam pembahasan ulang UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya. Alih-alih membuka ruang pembahasan ulang, isi Perpu No. 2 justru mengubah beberapa pasal yang ada di UU Cipta Kerja.
Sebenarnya penambahan dan revisi beberapa pasal di Perpu No. 2 adalah bentuk ketidakcakapan dan tidak berkualitas Pemerintah dan DPR dalam menyusun UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja tidak merevisi Pasal 84 UU No. 13 Tahun 2003, namun Perpu no. 2 memasukkan revisi Pasal 84 tersebut, sehingga berbunyi “Setiap Pekerja/Buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, ayat (3), ayat (5), Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat Upah penuh.”
Ketentuan Pasal 84 di UU 13 tahun 2003 berbunyi “Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.”
Ketentuan Pasal 79 ayat (2) di UU 13 tahun 2003 memuat huruf “a”, “b”, “c”, dan “d”, namun setelah direvisi di UU Cipta Kerja Pasal 79 ayat (2) hanya memuat huruf “a” dan “b”.
Ketika Pasal 79 direvisi di UU Cipta Kerja, Pasal 84 UU No. 13 Tahun 2003 yang tidak diubah di UU Cipta Kerja masih menyebut Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d. Ini artinya ketika membaca Pasal 84 di UU 13 Tahun 2003 tidak selaras dengan Pasal 79 ayat (2) UU Cipta Kerja.
Tidak direvisinya Pasal 84 di UU Cipta Kerja menyebabkan terjadinya ketidakselarasan ini, namun hal ini baru disadari oleh Pemerintah sehingga Pasal 84 diperbaiki di Perpu No. 2 tahun 2022.
Demikian juga mengubah judul Paragraf 1 pada BAB X dan Pasal 67 UU No. 13 Tahun 2003 sehingga menggunakan istilah Penyandang Disabilitas di Perpu No. 2 Tahun 2022, adalah salah satu bentuk ketidakcakapan Pemerintah dan DPR dalam membentuk UU Cipta Kerja. Pada saat membentuk UU Cipta Kerja, Pemerintah dan DPR tidak memperhatikan terminologi dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Sebelumnya Paragraf 1 pada BAB X dan Pasal 67 UU No. 13 Tahun 2003 menyebut Penyadang Cacat, dan ini tidak direvisi di UU Cipta Kerja, padahal UU No. 8 Tahun 2016 adalah tentang Penyandang Disabilitas. Jadi hadirnya revisi judul Paragraf 1 pada BAB X dan Pasal 67 hanya mensingkronkan dengan isu UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Memunculkan kembali Pasal 64 tentang alih daya (outsourcing) di Perpu No. 2, yang sebelumnya dihapus di UU Cipta Kerja, tidak memberikan kepastian kerja bagi pekerja dan pengusaha. Kehadiran Pasal 64 ini tidak memuat kepastian penggunaan pekerja alih daya yaitu hanya untuk pekerjaan yang bersifat penunjang, seperti yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 64 ini hanya mengamanatkan Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya, yang ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Diamanatkannya jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan di tingkat PP akan membuka ruang bebas kepada Pemerintah mengatur dan merevisinya sehingga menciptakan ketidakpastian bagi pekerja dan pengusaha.
Seharusnya Perpu No. 2 menyatakan secara tegas bahwa pekerjaan yang bisa dialihdayakan adalah pekerjaan yang bersifat penunjang, seperti yang dimuat dalam UU No. 13 Tahun 2003. Bila ketentuan ini dimuat di tingkat UU maka akan sulit untuk diubah, dan ini akan memberikan kepastian kepada pekerja dan pengusaha.
Terbitnya Pasal 64 di Perpu No. 2 menambah banyak pasal di UU No. 13 Tahun 2003 yang diturunkan ke tingkat PP. Sebagai contoh, Pasal tentang kompensasi PHK yang sebelumnya ada di UU No. 13 Tahun 2003, saat ini diatur di PP No. 35 Tahun 2021 yang isinya lebih rendah.
Terkait upah minimum, Pasal 88D ayat (2) UU Cipta Kerja direvisi di Perpu dengan menambahkan kata “indeks tertentu” sehingga Pasal 88D ayat (2) berbunyi Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Penambahan kata “indeks tertentu” di Perpu No. 2 diduga sebagai bentuk kesadaran Pemerintah bahwa Pasal 26 PP No. 36 Tahun 2021 terkait formula kenaikan UM tidak mampu mendukung daya beli pekerja dan keluarganya, seperti yang terjadi di 2022 ini. Kenaikan rata-rata UM 2022 sebesar 1,09 persen tergerus inflasi yang mencapai 5,51 (year on year).
Daya beli pekerja menurun secara signifikan, dan ini akan mempengaruhi konsumsi agregat masyarakat yang mengkontribusi 52 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun muatan baru Pasal 88D ayat (2) di Perpu tidak menjadi kepastian bagi pekerja dan pengusaha karena Pemerintah menambah Pasal 88F di Perpu No. 2 tahun 2022, yang berbunyi “Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).”
Kehadiran Pasal 88F ini justru menimbulkan ketidakpastian penggunaan formula yang diamanatkan Pasal 88D ayat (2), termasuk tentang “indeks tertentu”, karena Pemerintah diberikan mandat untuk menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dalam keadaan tertentu. Ketidakpastian ini berpotensi menciptakan protes dari kalangan pengusaha dan SP/SB. Seharusnya Pemerintah menciptakan kepastian formula kenaikan upah minimum, bukan malah menciptakan potensi konflik tahunan tentang upah minimum.
Lahirnya Perpu No. 2 Tahun 2022 yang menambah dan merevisi beberapa pasal di UU Cipta Kerja dapat diintepretasikan bahwa Perpu No. 2 ini menjadi sarana untuk memperbaiki kesalahan dalam beberapa pasal di UU Cipta Kerja yang tidak singkron dengan UU lainnya, dan menciptakan ketidakpastian yang berpotensi memunculkan konflik. Inilah dampak serius akibat UU Cipta Kerja dibuat dengan terburu-buru, dan tidak melibatkan masyarakat. Dan ini pun membuktikan kualitas Pemerintah dan DPR, sebagai pembuat UU Cipta Kerja, sangat rendah.
Dalam rilisnya Menteri Ketenagakerjaan juga memberikan penegasan bahwa kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 tahun atau lebih.
Menurut saya ketentuan wajib tentang Struktur dan skala upah dibuat olehPengusaha sudah ada sejak lama namun hingga saat ini masih banyak pengusaha yang enggan membuat struktur dan skala upah. Dampaknya masih banyak pekerja yang bekerja lebih dari setahun diupah sebatas upah minimum. Ini akibat lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum yang dilakukan pengawas ketenagakerjaan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Daripada menimbulkan ketidakpercayaan terhadap Pemerintah terkait Perpu No.2, sebaiknya Pemerintah menarik Perpu tersebut, dan segera menindaklanjuti Putusan MK dengan mengajak masyarakat memperbaiki UU Cipta Kerja. Dengan keterlibatan masyarakat dalam membahas ulang muatan UU Cipta Kerja berarti Pemerintah sudah memenuhi amanat Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 dan Pemerintah membangun kepercayaan kepada masyarakat.
Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan harus mengevaluasi kinerja Pengawas Ketenagakerjaan yang selama ini bekerja dengan kualitas rendah dan tertutup. Laporan pelanggaran norma kerja yang disampaikan pekerja kerap kali menjadi tumpukkan kertas di ruang pengawas, tanpa ditindaklanjuti. (Azwar)
Pinang Ranti, 5 Januari 2023