Jakarta, Wartapembaruan.co.id -- Aktivis Tionghoa yang juga Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma, mengeluarkan pernyataan tegas agar seluruh elemen bangsa membaca ulang amanat pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang asli sebagaimana yang dicetuskan oleh para founding fathers dan mothers Republik Indonesia.Pernyataan Lieus itu dilontarkan sehubungan dengan banyaknya silang pendapat dan perbedaan tafsiran terkait amandemen UUD 1945 yang dilakukan anggota MPR pasca reformasi 1998, terutama saat-saat menjelang pemilu seperti sekarang ini.
Menurut Lieus, empat kali amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR sejak tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002, pada kenyataannya tidak saja telah merobah bunyi pasal-pasal dalam UUD tersebut, tapi juga telah menghilangkan “jiwa dan roh” UUD 1945 yang asli.
“Hal itulah yang membuat saya berpikir mengapa sejak reformasi 1998 itu kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita selalu “gaduh”, terutama setiap kali pemilu dan pilpres akan dilaksanakan,” ujar Lieus.
Lieus menyebut, amandemen UUD 1945 yang dilakukan selama 4 tahun sejak 1999, 2000, 2001 sampai dengan tahun 2002 sepertinya dilakukan secara emosional demi memenuhi tuntutan reformasi. “Amandemen itu terkesan sangat tergesa-gesa, tanpa kajian yang matang dan tidak melibatkan seluruh stakeholder negara,” uajr Lieus.
“Akibatnya perubahan pasal-pasal dalam UUD 1945 terjadi begitu saja sebagai respon terhadap tuntutan reformasi kala itu. Sekarang baru terasa bahwa amandemen itu ternyata keliru. Pasal-pasal dalam UUD 1945 hasil amandemen itu hampir seluruhnya berubah. Dan yang kita pakai saat ini sesungguhnya adalah UUD 2022, bukan UUD 1945,” ujar Lieus.
Lieus mencontohkan bagaimana UUD 1945 hasil amandemen itu memaksakan agar tetap terdiri dari 16 Bab, padahal ada bab dalam UUD yang diamendemen itu sudah dihapus.
“Coba lihat Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Bab yang terdiri dari 2 Pasal ini mengatur Susunan Dewan Pertimbangan Agung yang ditetapkan dengan undang-undang, dan DPA berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah. Ironisnya, meski secara substansi Bab tentang DPA ini sudah dihapus, namun dalam UUD 1945 yang diamenden tersebut Bab IV ini masih dicantumkan. Ini apaan?” Tanya Lieus.
Selain itu, Lieus juga menyoroti Bab XIV Tentang Kesejahteraan Sosial, khususnya terkait Pasal 33. Menurut Lieus, dalam UUD 1945 yang asli disebutkan bahwa Pasal 33
berisi tentang; (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam penjelasannya, kata Lieus, Pasal 33 menegaskan bahwa ekonomi produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Penjelasan Pasal 33 ini lebih lanjut menyebutkan; Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Namun, ujar Lieus, dalam UUD 1945 hasil amandemen, bunyi Pasal 33 itu berubah 180 derajat. “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan, untuk kemakmuran bersama dan dibangun atas dasar koperasi, tidak ada lagi. Inilah mungkin asal muasal penyebab mengapa ekonomi kita sekarang dikuasai oligarki,” ujar Lieus.
“Demokrasi ekonomi dan koperasi itu tak ada lagi,” ujar Lieus. “Baca saja butir 4 Pasal 33 hasil amandemen UUD 1945 tahun 2022. Dengan jelas disitu disebutkan; “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Atas kondisi yang semakin tak menguntungkan itulah, Lieus mendukung gagasan Ketua DPD RI, LaNyalla Mattalitti untuk bangsa ini kembali ke UUD 1945 yang asli.
“Gagasan positif pak LaNyalla untuk mengembalikan bangsa ini kepada UUD 1945 yang asli, yang menjadi jiwa dan roh kemerdekaannya, perlu kita dukung. Tentunya agar bangsa ini tidak terus menerus berada dalam kegaduhan,” tegas Lieus. (*)
“Hal itulah yang membuat saya berpikir mengapa sejak reformasi 1998 itu kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita selalu “gaduh”, terutama setiap kali pemilu dan pilpres akan dilaksanakan,” ujar Lieus.
Lieus menyebut, amandemen UUD 1945 yang dilakukan selama 4 tahun sejak 1999, 2000, 2001 sampai dengan tahun 2002 sepertinya dilakukan secara emosional demi memenuhi tuntutan reformasi. “Amandemen itu terkesan sangat tergesa-gesa, tanpa kajian yang matang dan tidak melibatkan seluruh stakeholder negara,” uajr Lieus.
“Akibatnya perubahan pasal-pasal dalam UUD 1945 terjadi begitu saja sebagai respon terhadap tuntutan reformasi kala itu. Sekarang baru terasa bahwa amandemen itu ternyata keliru. Pasal-pasal dalam UUD 1945 hasil amandemen itu hampir seluruhnya berubah. Dan yang kita pakai saat ini sesungguhnya adalah UUD 2022, bukan UUD 1945,” ujar Lieus.
Lieus mencontohkan bagaimana UUD 1945 hasil amandemen itu memaksakan agar tetap terdiri dari 16 Bab, padahal ada bab dalam UUD yang diamendemen itu sudah dihapus.
“Coba lihat Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Bab yang terdiri dari 2 Pasal ini mengatur Susunan Dewan Pertimbangan Agung yang ditetapkan dengan undang-undang, dan DPA berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah. Ironisnya, meski secara substansi Bab tentang DPA ini sudah dihapus, namun dalam UUD 1945 yang diamenden tersebut Bab IV ini masih dicantumkan. Ini apaan?” Tanya Lieus.
Selain itu, Lieus juga menyoroti Bab XIV Tentang Kesejahteraan Sosial, khususnya terkait Pasal 33. Menurut Lieus, dalam UUD 1945 yang asli disebutkan bahwa Pasal 33
berisi tentang; (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam penjelasannya, kata Lieus, Pasal 33 menegaskan bahwa ekonomi produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Penjelasan Pasal 33 ini lebih lanjut menyebutkan; Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Namun, ujar Lieus, dalam UUD 1945 hasil amandemen, bunyi Pasal 33 itu berubah 180 derajat. “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan, untuk kemakmuran bersama dan dibangun atas dasar koperasi, tidak ada lagi. Inilah mungkin asal muasal penyebab mengapa ekonomi kita sekarang dikuasai oligarki,” ujar Lieus.
“Demokrasi ekonomi dan koperasi itu tak ada lagi,” ujar Lieus. “Baca saja butir 4 Pasal 33 hasil amandemen UUD 1945 tahun 2022. Dengan jelas disitu disebutkan; “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Atas kondisi yang semakin tak menguntungkan itulah, Lieus mendukung gagasan Ketua DPD RI, LaNyalla Mattalitti untuk bangsa ini kembali ke UUD 1945 yang asli.
“Gagasan positif pak LaNyalla untuk mengembalikan bangsa ini kepada UUD 1945 yang asli, yang menjadi jiwa dan roh kemerdekaannya, perlu kita dukung. Tentunya agar bangsa ini tidak terus menerus berada dalam kegaduhan,” tegas Lieus. (*)