Penulis: H. A. AZWAR /Jurnlis
Wartapembaruan.co.id - Menjelang tutup tahun 2022, Forum Wartawan Ketenagakerjaan (Forwaker) menggelar kegiatan Catatan Akhir Tahun Forwaker selama tiga hari, 25 - 27 Desember 2022, di Bogor, dengan tema, "Kritis Menangkap Isu Dalam Spirit Membangun Sinergi dan Kolaborasi."
Kegiatan berupa diskusi dengan tiga fokus bahasan, yaitu Penetapan Upah Buruh Pasca Pandemi Covid-19; Persiapan Hadapi Resesi Ekonomi 2023 Antisipasi PHK Massal; serta Mengulik Problemantika Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Penetapan Upah Buruh Pasca Pandemi Covid-19
Kenaikan Upah Minumum (UM) menjadi agenda konflik tahunan di Indonesia sepanjang masa. Penetapan UM pasti disertai aksi penolakan dari SP/SB atau pun asosiasi Pengusaha (Apindo).
Bila SP/SB yang menolak maka aksi demo digelar dan berlanjut ke PTUN. Bila Apindo menolak biasanya juga ke PTUN dan melakukan "pembangkangan" dengan tidak mau mematuhi keputusan kenaikan UM tersebut. Walaupun ada pidana bagi pengusaha yang tidak menjalankan UM namun dengan lemahnya kinerja pengawas ketenagakerjaan yang sudah menjadi rahasia umum, biasanya pengusaha berani melanggar ketentuan UM tersebut.
Proses penetapan upah minimum (UM) 2023 telah ditetapkan pada bulan Nopember 2022 oleh semua Gubernur. Seperti biasa, Menteri Ketenagakerjaan mengingatkan para Gubernur untuk menetapkan UM 2023, baik UM Propinsi maupun UM Kabupaten/Kota, sesuai rumus yang dituliskan dalam Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) PP No. 36 Tahun 2022 tentang Pengupahan.
Mengingatkannya dengan mengedepankan alasan bahwa UM merupakan Program Strategis Nasional (PSN) yang wajib dipatuhi para Gubernur. Kalau Gubernur tidak patuh pada rumus di Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) tersebut maka Gubernur akan “disangkakan” tidak mematuhi PSN sehingga bisa disanksi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Saat ini pun, proses penentuan UM 2023 akan berpotensi menjadi konflik. Pemerintah cq. Kemnaker sudah menyatakan akan menggunakan rumus kenaikan UM di Pasal 26 ayat 3, 4 dan 5 PP 36 tahun 2021 yang kanaikannya akan berkisar 1 sampai 2 persen. Tentunya Apindo akan mendukung pernyataan Kemnaker ini. Sepertinya ruang dialog sudah ditutup kemnaker, walaupun dalam pemberitaan media Menaker masih menunggu hasil dialog di Dewan Pengupahan.
Proses penentuan UM dengan menggunakan Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) hanya membutuhkan data-data dari BPS yaitu data Rata-rata Konsumsi per Kapita, Rata-rata banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART), Rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada setiap rumah tangga, Inflasi Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah.
Dengan lima variable data tersebut maka dapat dihitung kenaikan UM 2023. Bila Batas Atas (BA) lebih kecil dari UM 2022 maka dipastikan tidak ada kenaikan UM di wilayah tersebut. Dengan rumus di Pasal 26 tersebut, ada beberapa kabupaten/Kota yang UM-nya tidak naik di 2022.
Jadi dapat disimpulkan bila penentuan UM 2023 masih menggunakan rumus-rumus di Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) PP No. 36 Tahun 2022, tidak ada dialog secara tripartite yang bisa dibangun baik di tataran pusat maupun daerah.
Dalam berbagai pemberitaan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan pemerintah masih menunggu hasil dialog secara Tripartit, yang melibatkan pengusaha dan buruh serta Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) untuk memformulasikan perhitungan terkait upah minimum (UM) 2023. Lebih lanjut Menaker menyatakan, namun demikian, kebijakan pengupahan tahun 2023 dipastikan akan mengacu ke Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021.
Saya menilai pernyataan Menaker tersebut sebagai pernyataan tanpa makna dan sangat sumbang. Bagaimana bisa ada dialog yang diharapkan Menaker ketika Menaker sudah memastikan perhitungan UM 2023 menggunakan rumus Pasal 26 PP No. 36 Tahun 2021? Apa sih yang dimaksud “Dialog” oleh Menaker pada pemberitaan tersebut?.
Kalau dialog secara Tripartit hanya dimaknai sebagai sebuah pertemuan untuk melegitimasi perhitungan rumus yang ada di Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), saya nilai itu bukan dialog. Itu sekadar pertemuan untuk ngopi bareng saja.
Saya pun berharap Menaker mau menjelaskan kepada public tentang “dialog” dalam penetapan UM 2023 sehingga public tahu apakah memang dialog yang dimaksud benar-benar dialog yang membuka ruang kesepakatan diantara Dewan Pengupahan Daerah atau hanya suara sumbang Menaker.
Kemnaker cq. Direktorat Pengupahan tetap masih berfokus pada penggunaan Pasal 26 ayat 3, 4 dan 5 PP 36 tahun 2021 tanpa memberikan suatu peluang penetapan UM 2023 dengan mekanisme dialog yang berkualitas.
Proses tersebut terkesan menjadi legitimasi Kemnaker untuk mengatakan ke public bahwa Kemnaker telah melakukan dialog dengan SP/SB sehingga soal penetapan UM 2023 sudah dipahami oleh SP/SB.
Namun faktanya kalangan SP/SB menolak penggunaan Pasal 26 ayat 3,4 dan 5 tersebut, dengan mengusulkan kenaikan 13 persen. Alasan SP SB adalah agar daya beli buruh tidak tergerus inflasi.
Inflasi di September 2022 yang mencapai 5.95 persen (year on year) tentunya sudah menggerus kenaikan UM 2022 yang rata-rata naik sekitar 1.09 persen. Daya beli akan lebih tergerus karena kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, yang akan juga berdampak ke tahun 2023. Apalagi saat ini Pemerintah sudah merilis potensi krisis di 2023 akibat ketidakpastian kondisi geopolitik dunia. Tentunya potensi krisis tersebut juga akan menghatam dunia usaha.
Dengan kondisi di atas, Saya mengusulkan agar Kemnaker dan Apindo tidak memaksakan penggunaan Pasal 26 ayat 3,4 dan 5 PP No.36 tahun 2021 tentang Pengupahan, namun mengajak dialog kalangan SP/SB secara berkualitas yang dilakukan secara dua arah. Namanya juga dialog bukan monolog, jadi harus berlangsung dua arah.
Dialog yang dibangun harus mencari alternatif metode perhitungan kenaikan UM 2023. Dengan dialog tersebut diharapkan juga SP SB membuka ruang negosiasi, dengan tidak memaksakan kenaikan 13 persen.
Saya usul agar Kemnaker, Apindo serta SP SB bersepakat melakukan survey 64 item Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di pasar yang memang riil dikonsumsi oleh pekerja/buruh. Dengan menghitung inflasi yang terjadi pada pengeluaran pekerja/buruh maka kenaikan UM 2023 akan mampu mendukung daya beli pekerja/buruh, yang di 2022 ini sudah tergerus inflasi.
Dengan kondisi inflasi bahan makanan, yang menurut BPS, sudah mencapai 9,02 persen, demikian juga BPS menyatakan inflasi September 2022 terjadi karena adanya kenaikan harga yang dikontribusi sebagian besar dari indeks kelompok pengeluaran yang memang masuk dalam 64 item KHL tersebut, seperti kelompok transportasi sebesar 8,88 persen, kenaikan UM 2023 sebesar 8-10 persen bisa menjadi kesepaktan ketiga pelaku hubungan industrial.
Hasil survey didialogkan dan disepakati, yang nilainya akan diadopsi Gubernur untuk ditetapkan di bulan November 2022 ini. Dengan hasil survey yang didialogkan tersebut kenaikan UM 2023 akan lebih obyektif hasilnya. Dan hasil tersebut diharapkan akan meniadakan perselisihan yang tiap tahun kerap terjadi.
Permenaker No. 18 tahun 2022 tentang penetapan upah minimum 2023.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) telah mengeluarkan Permenaker No. 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023.
Pada Pasal 6 Permenaker ini formula perhitungan kenaikan UM 2023 menjadi
UM(t+1) = UM(t) + (Penyesuaian Nilai UM x UM(t))
Keterangan:
UM(t+1) : Upah Minimum yang akan
ditetapkan.
UM(t) : Upah Minimum tahun berjalan.
Penyesuaian
Nilai UM: Penyesuaian nilai Upah
Minimum yang merupakan
penjumlahan antara inflasi
dengan perkalian pertumbuhan
ekonomi dan α (alfa).
Jadi Pasal 26 PP 36 tahun 2021 yang mengamanatkan formula kenaikan Upah Minimum (UM) diubah oleh Pasal 6 Permenaker No. 18 tahun 2022.
Atas lahirnya Permenaker No. 18 tahun 2022, ada beberapa catatan saya, yaitu :
1. Tentunya rumus baru ini lebih baik dari rumus di pasal 26 PP 36 tahun 2021.
Paling tidak dengan rumus baru ini kenaikan UM 2023 di atas inflasi yang terjadi di 2022. Namun UM 2023 akan diperhadapkan dengan inflasi 2023, sehingga Permenaker No. 18 ini belum otomatis memastikan daya beli buruh tidak turun di 2023. Ini bisa terjadi karena adanya faktor alfa yang dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi. Formula ini berpotensi menyebabkan kenaikkan UM 2023 tidak otomatis lebih tinggi dari inflasi 2023.
2. Rumus formula ini seperti PP 78 tahun 2015 yaitu penjumlahan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional. Namun dalam rumus baru ini ada faktor alfa yang nilainya dalam rentang 0.10 sampai 0.30. Tidak ada kejelasan tentang nilai alfa ini dan pembatasan nilai alfa tersebut.
Mengapa harus ada nilai alfa? Apa dasarnya? Dan mengapa harus dibatasi antara 0.1 sampai 0.3? Kenapa tidak ditentukan misalnya nilai alfa antara 0.5 hingga 1 sehingga mendekati formula PP 78 tahun 2015.
Simulasi Permenaker baru ini, sebagai contoh pada kenaikan UMP DKI jakarta 2023 berdasarkan nilai inflasi 4.61 persen dan pertumbuhan ekonomi 4.96 persen dengan asumsi nilai alfa 0.10 maka kenaikan UMP DKI 2023 adalah sebesar 4.61 persen + (4.96 x 0.10) = 5.10 persen.
Kalau pakai nilai alfa 0.3 maka kenaikan UM 2023 sebesar 6.09 persen.
Dengan dua simulasi ini, kenaikan UMP DKI 2023 akan diperhadapkan pada nilai inflasi 2023, yang nilai inflasinya bisa lebih tinggi dari kenaikan UM 2023.
3. Permenker ini hanya mengatur kenaikan UM 2023 saja, dan untuk tahun berikutnya akan kembali ke formula yang diatur di Pasal 26 PP 36 tahun 2021. Permenaker 18 tahun 2022 tidak memenuhi kaidah pembuatan peraturan perundangan yang diatur di UU 13/2022 junto UU No. 12/2011. Permenaker ini tidak didiskusikan di LKS Tripartit Nasional, dan tidak ada argumentasi terkait aspek yuridis, sosiologis dan filosofisnya.
4. Secara yuridis, formula dalam Permenaker ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 26 PP 36 tahun 2021. Oleh karenanya Permenaker ini seharusnya tidak bisa dijalankan.
Hierarki peraturan perundang undangan sudah sangat jelas diatur di Pasal 7 ayat 1 UU 12 tahun 2011.
Pasal 7 ayat 2 UU 12 tahun 2011 dengan sangat jelas menyatakan kekuatan hukum peraturan perundangan sesuai dengan hirarkinya sehingga isi Permenaker tidak boleh bertentangan dengan PP.
Selain itu ada putusan MK no.91 tahun 2020 yang menyatakan Pemerintah tidak boleh membuat keputusan atau regulasi turunan UU Cipta Kerja karena UU Cipta Kerja masih dalam status inkonstitusional bersyarat. Ini artinya Permenaker no.18 yang hadir mengatur tentang UM sudah melanggar putusan MK tersebut.
Putusan MK mengamanatkan agar isi UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya dinegosiasi kembali. Untuk klaster ketenagakerjaan seharusnya Pemerintah membuka ruang negosiasi ulang termasuk menegosiasi kembali PP 36 tahun 2021.
5. Seharusnya Presiden memperbaiki PP 36 tahun 2021 saja, dan hal ini akan berlaku untuk kenaikan UM di tahun tahun berikutnya, tidak hanya 2023.
Seharusnya Permenaker No. 18 tahun 2022 bisa menjawab aspek sosiologis dan filosofis hadirnya UM, dan terimplementasi di tahun tahun berikutnya. Secara sosiologis apakah daya beli buruh tetap terjaga ataukah menurun. Rata-rata kenaikan UM 2022 dengan menggunakan Pasal 26 PP 36 tahun 2021 sebesar 1.09 persen jauh lebih rendah dari inflasi 2022, yang menyebabkan daya beli buruh turun.
Filosofi kehadiran UM adalah untuk memastikan buruh dan keluarganya tidak miskin. Buruh bekerja namun miskin, yaitu tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup layaknya.
Saya berharap kenaikan UM di PP 36 benar benar diperbaiki daripada membuat permenaker yang cacat secara yuridis, karena melanggar kaidah hierarki peraturan perundang undangan, dan tidak menjawab aspek sosiologis dan filosofis.
Saya usulkan agar revisi pasal 26 PP 36 tahun 2021 ini mengatur formula seperti PP No. 78 tahun 2015 yaitu penjumlahan inflasi propinsi dan pertumbuhan ekonomi propinsi.
Namun, kalau pun harus menggunakan alfa seperti isi Pasal 6 permenaker 18/2022, nilai alfanya dalam rentang antara 0.5 hingga 1. Rentang ini harus dinegosiasi dalam Dewan Pengupahan Daerah, dan direkomendasi ke Gubernur dan nantinya akan ditetapkan oleh Gubernur. Gubernur diberi kewenangan untuk menetapkan nilai alfa berdasarkan kondisi di wilayahnya sehingga gubernur benar benar memiliki kewenangan nyata dalam menetapkan kenaikan UM. Gubernur harus memperhatikan kondisi wilayahnya dalam menetapkan UM.
Pasal 26 PP 36 tahun 2021 memposisikan Gubernur sebagai "robot" untuk menentukan kenaikan UM. Kewenangan Gubernur menetapkan kenaikan UM yang diamanatkan UU Cipta Kerja (junto UU Ketenagakerjaan) disandera habis oleh Pasal 26 PP 36 tahun 2021, dan Dewan Pengupahan juga jadi tidak berdaya dalam menjalankan fungsinya.
Hadirnya nilai alfa dapat dimaknai sebagai upaya mengembalikan kewenangan gubernur dan fungsi dewan pengupahan serta menghadirkan kembali semangat dialog sosial diantara pelaku hubungan industrial, yang akan mendukung kenaikan UM tidak lebih rendah dari inflasi tahun berjalan.
No untuk Permenaker No Work No Pay
Selanjutnya, telah diketahui bersama, kalangan pengusaha meminta Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) tentang No Work No Pay. Alasan yang dibangun kalangan pengusaha adalah untuk menurunkan tingkat PHK saat ini.
Ketentuan tentang No work No pay diatur dalam pasal 93 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan ini masih berlaku dan mengikat seluruh pelaku hubungan industrial, yaitu Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja.
Adapun bunyi Pasal 93 ayat (1), Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Jadi point dalam ketentuan Pasal 93 ayat (1) tersebut adalah no work no pay dilakukan bila pekerja tidak mau bekerja. Di luar ketentuan Pasal 93 ayat (1) tersebut pekerja yang tidak bekerja karena keinginan pengusaha harus tetap dibayar upahnya.
Bila dalam kondisi saat ini yang katanya akan ada resesi, dan pengusaha akan merumahkan para pekerjanya maka sesuai ketentuan tersebut pihak perusahaan tetap harus membayar upah termasuk membayar iuran seluruh program jaminan sosial agar pekerja tetap memiliki pendapatan dan tetap terlindungi oleh jaminan sosial.
Kalaupun perusahaan melakukan PHK dan terjadi perselisihan PHK maka perusahaan pun harus tetap membayar upah pekerja sampai adanya putusan pengadilan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 157A UU Cipta Kerja.
Selama pandemi Vovid19 dan hingga saat ini, pengusaha yang merumahkan pekerja kecenderungannya tidak membayar upah pekerja, dan kalau pun dibayar upah ditentukan sepihak oleh pengusaha dengan nilai jauh di bawah upah normal. Ketika dirumahkan lalu dikatakan telah terjadi PHK, pihak pengusaha mengatakan tidak terjadi PHK, namun upah tidak dibayarkan lagi. Tindakan pengusaha yang tidak membayar upah pekerja adalah sebuah pelanggaran, dan ini terus dibiarkan pemerintah.
Pelanggaran yang dilakukan pengusaha ini seharusnya ditindak oleh pengawas ketenagakerjaan, namun seperti kita ketahui peran pengawas ketenagakerjaan sangat lemah sehingga pekerja terus menjadi korban.
Saya menilai permintaan adanya permenaker tentang no work no pay oleh pengusaha ini adalah upaya melegalkan tindakan pengusaha untuk tetap merumahkan pekerja tanpa membayar upah.
Dirumahkan tanpa upah membuat pekerja tersandera. Di PHK tidak tetapi tidak dibayar upahnya. Kalau diPHK maka pekerja memiliki kepastian, yaitu berhak mendapat kompensasi PHK (yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak), mendapat manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dapat mencairkan JHT, dan dapat pelayanan JKN maksimal 6 bulan dari BPJS Kesehatan tanpa membayar iuran.
Yang terjadi saat ini justru dirumahkan tanpa upah dan iuran jaminan sosial tidak dibayar lagi, tetapi pekerja tidak di PHK. Ini yang membuat pekerja jadi menderita. Tanpa upah dan tanpa perlindungan sosial.
Kalau dikatakan Permenaker no work no pay akan menghindari PHK maka saya pastikan itu tidak benar. Itu hanya upaya untuk legalkan pelanggaran terhadap upah pekerja.
Saya meminta Kemnaker tidak membuat Permenaker tentang no work no pay. Adapun alasannya, secara Yuridis, Permenaker tidak boleh melanggar Pasal 93 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 karena kedudukan UU lebih tinggi dari Permenaker. Dari alasan sosiologis, pekerja dirumahkan tanpa upah merupakan tindakan pelanggaran HAM pekerja untuk membiayai kehidupannya beserta keluarga.
Saya juga mendesak pengawas ketenagakerjaan menegakkan hukum atas tindakan pengusaha yang tidak membayar upah pekerja. Secara filosofis kehadiran negara untuk melindungi pekerja. Negara harus hadir dengan menindak pengusaha yang tidak membayar upah pekerja. Tidak membayarkan upah pekerja dapat diproses pidana maupun perdata.
Persiapan Hadapi Resesi Ekonomi 2023 Antisipasi PHK Massal
Saat ini kondisi dunia termasuk Indonesia masih terus belum menentu. Setelah pandemi Covid19 yang melanda dunia, saat ini persoalan geopolitik dunia akibat perang Rusia-Ukraina menjadi masalah yan mengancam ekonomi dunia akibat terganggunya pasokan pangan, energi, dan sebagainya.
Akibatnya inflasi menjadi ancaman bagi dunia yang mengakibatkan resesi dunia. Inflasi yang tinggi akan menurunkan daya beli masyarakat. Indonesia pun terancam resesi seperti yang dikemukakan Presiden dan Menteri Keuangan serta Menko Luhut.
Tentunya hal ini berpengaruh pada iklim dunia usaha di Indonesia. Rantai pasok terganggu, baik impor maupun ekspor. Daya beli yang turun akan menurunkan tingkat pergerakan barang dan jasa, yang sangat berpengaruh pada roda produksi perusahaan.
Akibatnya akan ada efisiensi tenaga kerja. PHK menjadi tren meningkat akibat persoalan pandemi covid yang dilanjutkan dengan persoalan geopolitik dunia.
Tidak hanya itu, meningkatnya kemajuan teknologi informasi dan digitalisasi mendorong kompetisi dunia usaha semakin tinggi. Banyaknya pemain star up yang masuk dalam industri star up menyebabkan kompetisi semakin tinggi. Yang gagal beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi dan digitalisasi serta kompetisi yang tinggi dengan star up yang masuk menyebabkan terjadinya PHK di industri star upa. Efisiensi pekerja menjadi solusi untuk mempertahankan perusahaan tetap eksis.
Kemajuan teknologi informasi dan digitalisasi pun mengancam industri padat karya. Industri padat karya harus beradaptasi dengan kemajuan teknologi untuk memastikan produktivitas terus meningkat sehingga bisa berkompetisi dengan perusahaan sesama di sektornya. Dampak adaptasi tersebut adalah efisiensi pekerja dengan melakukan PHK.
Semuanya itu akan mengakibatkan PHK massal di semua sektor. Dan itu dampak dari berbagai masalah di atas.
Kalau pun ada PHK karena mis manajemen tentunya itu ada tapi relatif lebih kecil dibandingkan kondisi-kondisi di atas.
Tentunya resesi ke depan pun akan bisa diatasi denga menciptakan keseimbangan baru dunia. Resesi yang mengancam Indonesia bisa diminimalisir dengan berbagai kebijakan Pemerintah untuk mencegah resesi dan kesiapan mengatasi dampak resesi.
UU APBN 2023 harus mampu membaca kondisi ancaman yang ada. Bantuan sosial pun masih harus dianggarkan dan nilainya ditingkatkan baik untuk BLT maupun BSU sehingga bisa menjaga daya beli masyatakat. Daya beli masyarakat terjaga akan mendukung pergerakan barang dan jasa agar industri tetap berproduksi dan menghindari terjadinya PHK.
UU APBN 2023 juga harus terus mendukung UMKM kita serta KUR terus ditingkatkan. Insentif bagi dunia usaha jg dianggarkan dgn syarat menghindari terjadinya PHK.
Dengan kondisi PHK yang akan banyak terjadi, Pemerintah harus bersiap dengan berbagai upaya membantu pekerja, yaitu :
1. Memastikan adanya alokasi BSU 2023 di APBN 2023 dengan perluasan kepesertaan yang di luar peserta BPJAMSOSTEK;
2. Adakan tambahan alokasi anggaran untuk pelatihan vokasional yang serius, jangan hanya dianggarkan sejuta rupiah seperti yang dialokasikan di program kartu prakerja dan program JKP. Ini sangat penting agar SDM angkatan kerja kita meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan industri;
3. Dukungan pemda dengan melakukan operasi pasar kebutuhan pokok bagi buruh dan keluarganya di kawasan2 industri untuk mendukung daya beli buruh;
4. Meningkatkan peran Pengawas Ketenagakerjaan dan Mediator yang baik untuk memastikan PHK tidak semena-mena yang hanya mendompleng isu krisis;
5. Memastikan proses yang lebih mudah untuk menjamin pekerja (dan keluarganya) yang ter PHK tetap dilayani JKN maksimal 6 bulan tanpa membayar iuran lagi, sesuai amanat Pasal 27 Perpres 82/2018;
6. Pemerintah harus memberikan kemudahan (dari sisi regulasi maupun implementasi) bagi Pekerja yang ter PHK mendapatkan akses memdapatkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Dibutuhkan peran berkualitas Pengawas Ketenagakerjaan untuk memastikan pekerja yang di PHK (yang belum menjadi peserta JKP) mendapat manfaat JKP yang dibayarkan perusahaan;
7. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran di 2023 untuk mengimplementasikan program JKK dan JKm di BPJS ketenagakerjaan bagi pekerja miskin, sehingga pekerja yang terPHK dan menjadi tidak mampu tetap menjadi peserta JKK JKm dan dilindungi di BPJS Ketenagakerjaan.
Mengulik Problemantika Pekerja Migran Indonesia (PMI)
Pekerja Migran Indonesia (PMI) berhak atas jaminan sosial, yang salah satunya adalah berhak atas program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ini amanat Pasal 28H UUD 1945.
Sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur tentang PMI terhadap JKN, kecuali Inpres No. 1 tahun 2022. Sebenarnya Inpres bukanlah regulasi tapi instruksi yang wajib dijalankan para K/L yang diinstruksikan Presiden.
Salah satu isi Inpres No.1 tahun 2022 adalah Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia diinstruksikan untuk:
a. Mewajibkan calon Pekerja Migran Indonesia menjadi Peserta aktif program Jaminan Kesehatan Nasional:
b. Mewajibkan Pekerja Migran Indonesia yang bekerja di luar negeri kurang dari 6 (enam) bulan untuk menjadi Peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional selama berada di luar negeri, dan;
c. Menyusun dan menetapkan regulasi teknis untuk mendukung pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Pada point b yaitu PMI yang kerja kurang dari 6 bulan wajib menjadi peserta aktif. Artinya wajib menjadi peserta aktif adalah membayar iuran. Merujuk Pasal 16 UU SJSN, peserta berhak mendapatkan manfaat dan informasi atas program yang diikutinya.
Pertanyaanya, bagaimana PMI yang sedang kerja di luar negeri mendapatkan layanan JKN, sementara JKN hanya beroperasi di wilayah NKRI. Di luar negeri tidak ada FKTP yang bisa dipilih oleh PMI, dan RS di luar negeri mungkin tidak mau dibayar dengan INA CBGs versi Indonesia.
Kalau menggunakan mekanisme reimbursemen yang diatur di Perpres No. 82 tahun 2018 tentunya proses penjaminan PMI oleh JKN bisa dilakukan.
Seharusnya BP2MI menyegerakan point c Inpres 1 tahun 2022 tersebut dengan membuat regulasi teknis dengann K/L lainnya yang memastikan PMI mendapatkan manfaat JKN di luar negeri.
Bila memang JKN belum bisa beroperasi di luar negeri dengan memberikan manfaat maka mekanisme reimbursemen bisa digunakan dalam regulasi. Jadi, PMI yang sakit bisa melakukan reimbursemen kepada BPJS Kesehatan, karena tidak ada RS di luar negeri yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Selain itu regulasi juga memastikan PMI yang pulang dari luar negeri mendapatkan manfaat JKN maksimal 6 bulan tanpa lagi harus membayar iuran dan bila 6 bulan belum dapat kerja juga maka bisa menjadi peserta PBI yang iurannya dibayar pemerintah.
Ketentuan penjaminan PMI maksimal 6 bulan tersebut diarahkan sesuai Pasal 27 Perpres No. 82 tahun 2018 yang memberikan fasilitas bagi pekerja yang terPHK.
Sebagai warga negara Indonesia yang berhak atas program jaminan sosial kesehatan (program JKN) maka segerakan perbaikan regulasi agar PMI bisa merasakan manfaat JKN dimana pun mereka berada.
Sebenarnya Inpres No. 1 tahun 2022 terkait PMI sudah bertentangan dengan Pasal 16 UU SJSN, dan oleh karenanya segerakan pembuatan regulasi tentang JKN bagi PMI.
Memaknai Inpres No.1 tahun 2022 tanpa ada pembuatan regulasi tersebut merupakan penegasian isi Pasal 28H UUD 1945.
Semoga dalam uraian isi tulisan ini, dapat bermanfaat bagi Kementerian Ketenagakerjan (Kemnaker) bersama stakeholder Kementerian/Lembaga (K/L), Pemda dan berbagai pihak (Azwar)
Kalau menggunakan mekanisme reimbursemen yang diatur di Perpres No. 82 tahun 2018 tentunya proses penjaminan PMI oleh JKN bisa dilakukan.
Seharusnya BP2MI menyegerakan point c Inpres 1 tahun 2022 tersebut dengan membuat regulasi teknis dengann K/L lainnya yang memastikan PMI mendapatkan manfaat JKN di luar negeri.
Bila memang JKN belum bisa beroperasi di luar negeri dengan memberikan manfaat maka mekanisme reimbursemen bisa digunakan dalam regulasi. Jadi, PMI yang sakit bisa melakukan reimbursemen kepada BPJS Kesehatan, karena tidak ada RS di luar negeri yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Selain itu regulasi juga memastikan PMI yang pulang dari luar negeri mendapatkan manfaat JKN maksimal 6 bulan tanpa lagi harus membayar iuran dan bila 6 bulan belum dapat kerja juga maka bisa menjadi peserta PBI yang iurannya dibayar pemerintah.
Ketentuan penjaminan PMI maksimal 6 bulan tersebut diarahkan sesuai Pasal 27 Perpres No. 82 tahun 2018 yang memberikan fasilitas bagi pekerja yang terPHK.
Sebagai warga negara Indonesia yang berhak atas program jaminan sosial kesehatan (program JKN) maka segerakan perbaikan regulasi agar PMI bisa merasakan manfaat JKN dimana pun mereka berada.
Sebenarnya Inpres No. 1 tahun 2022 terkait PMI sudah bertentangan dengan Pasal 16 UU SJSN, dan oleh karenanya segerakan pembuatan regulasi tentang JKN bagi PMI.
Memaknai Inpres No.1 tahun 2022 tanpa ada pembuatan regulasi tersebut merupakan penegasian isi Pasal 28H UUD 1945.
Semoga dalam uraian isi tulisan ini, dapat bermanfaat bagi Kementerian Ketenagakerjan (Kemnaker) bersama stakeholder Kementerian/Lembaga (K/L), Pemda dan berbagai pihak (Azwar)