Oleh : Ali Azwar
Jakarta, Wartapembaruan.co.id -- Pada Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 memposisikan setiap orang berhak atas Jaminan Sosial (Jamsos), dan Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dengan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Kehadiran jaminan sosial ini sangat berperan dalam mendukung kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Amanat kedua pasal tersebut melahirkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diikuti lahirnya UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Salah satu prinsip dalam kedua UU ini adalah kepesertaan wajib.
Mengacu pada Perpres No. 109 Tahun 2013, Perpres No. 82 Tahun 2018, PP No. 44 tahun 2015, PPP No. 45 tahun 2015 dan PP No. 46 Tahun 2015 seluruh pekerja formal (penerima upah) wajib mengikuti seluruh program jaminan sosial yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan atau lebih dikenal BPJamsostek. Khusus untuk pekerja formal di perusahaan skala kecil berhak ikut JP, sementara di sektor mikro berhak ikut JP dan JHT.
Sementara itu untuk pekerja bukan penerima upah (atau pekerja informal) wajib ikut JKN, JKK dan JKm, serta berhak ikut JHT. Pekerja informal belum bisa menjadi peserta JP dan JKP. Ini merupakan diskriminasi yang dialami pekerja informal untuk mengakses JP dan JKP.
Saat ini kepesertaan pekerja di BPJamsostek relatif masih rendah. Di bulani Agustus 2022 ini saja, menurut BPS, jumlah pekerja formal sebanyak 55,06 juta orang dan pekerja informal sebanyak 80,24 juta orang. Sementara itu per akhir Oktober 2022, jumlah pekerja penerima upah (pekerja formal) yang menjadi peserta aktif di BPJamsostek sebanyak 22,323,720 orang, pekerja bukan penerima upah (informal) sebanyak 4,955,345 orang, pekerja jasa konstruksi 8,915,873 orang dan pekerja migran Indonesia 281.698 orang.
Untuk kepesertaan pekerja formal di JKN masih sekitar 17 juta pekerja, sementara peserta bukan penerima upah yang aktif sebanyak 14.596.706 orang dan peserta bukan penerima upah yang non aktif sebanyak 16.375.266 orang.
Dengan prinsip kepersertaan wajib namun masih banyaknya pekerja formal yang belum menjadi peserta di BPJamsostek, hal ini disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan cq. Pengawas Ketenagakerjaan. Selain itu sanksi tidak mendapatkan layanan publik yang diamanatkan PP No. 86 Tahun 2013 belum didukung oleh Kementerian/Lembaga (K/L) yang menyelenggarakan pelayanan publik.
Sementara itu masih rendahnya kepesertaan bagi pekerja informal disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan edukasi, termasuk belum diterapkannya sanksi tidak mendapatkan layanan publik yang diamanatkan PP No. 86 Tahun 2013.
Program jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsostek) kurang mendapat dukungan pemerintah daerah (Pemda). Oleh karenanya, sudah selayaknya Program JKK dan JKm serta JHT menjadi program strategis nasional ini, harus didukung oleh Pemda.
Kepesertaan di BPJamsostek harus menjadi perhatian dan mendapat dukungan seluruh K/L yang diinstruksikan dalam Inpres No. 2 Tahun 2021 sehingga kepesertaan bisa ditingkatkan secara signifikan. Ada 26 K/L yang harus mendukung kepesertaan pekerja di BPJamsostek.
Demikian pula, ada 30 K/L yang diinstruksi dalam Inpres no. 1 Tahun 2022 yang harus mendukung kepesertaan di Program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan sehingga kepesertaan aktif bisa mencapai 98 persen rakyat Indonesia di tahun 2024.
Saya meyakini, bila Inpres No.2 tahun 2021 dan Inpres No. 1 tahun 2022 ini dilaksanakan oleh seluruh K/L yang diinstruksikan, maka kepesertaan di kedua BPJS akan meningkat secara signifikan. Hal ini menjadi point penting agar semakin banyak rakyat Indonesia yang dilindungi oleh seluruh Program jaminan sosial.
Khusus untuk pekerja ojek online (Ojol), Pasal 31 ayat (3) Permenaker No. 5 tahun 2021 mewajibkan pekerja dengan perjanjian kemitraan seperti pekerja ojol ini diikutkan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. Dengan mengacu pada Pasal 34 Permenaker No. 5 Tahun 2021 ini kepesertaan pekerja ojol ini harus dipastikan oleh pihak penyedia layanan melalui kemitraan, yaitu manajemen aplikator.
Permenaker No. 5 ini diperkuat oleh Inpres No. 2 Tahun 2021 yaitu Kementerian Perhubungan diinstruksikan untuk mendorong setiap pemberi kerja dan pekerja pada sektor perhubungan laut, darat dan udara termasuk transportasi dalam jaringan (online) menjadi peserta aktif dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Namun, Permenaker No. 5 tahun 2021 dan Inpres No. 2 tahun 2021 tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan sehingga masih banyak pekerja ojol yang belum menjadi perserta di BPJamsostek.
Seperti misalnya Ojol in driver. Diketahui bahwa in driver belum/tidak mewajibkan pekerjanya dengan perjanjian kemitraan sebagai pekerja ojol yang harus diikutkan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsostek).
David Sinurat (30 tahun) telah 2 (dua) bulan menjalani profesi ojol in driver. Dia mengaku mendaftar di in driver sambil menunggu ada pendaftaran baru di ojol yang telah ada selama ini.
David mengaku, walaupun penghasilannya sehari kecil, namun bisa bermanfaat utuk dapat menghidupi istri dan satu anaknya. David juga sering merasa was-was dengan apa yang akan menimpa dirinya dalam menjalani profesinya ini. Seperti kecelakaan, kehilangan motornya. Untuk itu David sangat berharap in driver segera menyertakan para pekerjanya masuk dalam program BPJamsostek.
Terkait pekerja informal miskin, hingga saat ini Pemerintah Pusat belum mengimplementasikan program JKK, JKm dan JHT bagi pekerja informal miskin. Pasal 14 dan Pasal 17 UU SJSN mengamanatkan Pemerintah mendaftarkan masyarakat miskin ke program jaminan sosial. Selama ini Pemerintah baru menerapkannya di JKN dengan skema PBI (Penerima Bantuan Iuran), sementara PBI untuk JKK-JKm dan JHT belum dilaksanakan.
Untuk itu, Presiden harus mengevaluasi pelaksanaan Inpres No.2 tahun 2021 dan Inpres No. 1 tahun 2022, termasuk memberikan peringatan kepada K/L yang belum serius menjalankan kedua Inpres tersebut. Presiden juga harus segera mengimplementasikan PBI untuk JKK, JKm dan JHT. Paling tidak untuk PBI JKK dan JKm segera dilaksanakan 1 Januari 2023, dan JHT dilaksanakan bertahap.
Sangat diharapkan kepada seluruh K/L harus serius dalam meningkatkan kepesertaan pada program jaminan sosial ini, untuk mendukung kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya pekerja informal seperti Ojol. (Azwar)