Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Terhadap Permohonan Judicial Review (JR) Nurul Ghufron yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Koordinator Siaga 98 (Simpul Aktivis Angkatan 98) Hasanuddin optimis akan dikabulkan
Menurut Hasanuddin dalam keterangan pers tertulisnya Jumat (18/11) ada beberapa sebab Siaga 98 optimis akan dikabulkan yang pertama, terdapat kontradiksi antara Pasal 34 UU KPK dimana disebutkan pimpinan KPK dapat dipilih kembali. Namun pada Pasal 29 dengan membatasi usia minimal 50 Tahun.
Pertentangan ini faktual terjadi setidaknya dalam peristiwa yang akan dialami sdr. Nurul Ghufron (Wakil Ketua KPK), dan oleh sebab itu perlu diuji dan diluruskan. Pertentangan antara pasal-pasal dalam undang-undang akan merusak konstruksi bangunan undang-undang itu sendiri, dan/atau setidaknya tidak mencerminkan apa yang dimaksud Pasal 28D UUD 1945 bahwa Undang-undang yang ada harus menjamin sistem hukum Indonesia yang berkepastian hukum.
"Dan oleh karenanya dalam pengertian spesifik pasal-pasal yang saling bertentangan akan merusak bangunan undang-undang dan tentu tidak dikehendaki oleh UUD 1945?" katanya.
Kemudian lanjut Hasanuddin lagi rasa optimis yang kedua adalah dalam hal batas usia minimal dan maksimal dikualifikasi sebagai bagian dari Open Legal Policy. "Tentu saja haruslah tunduk pada syarat-syarat tujuan yang hendak dicapai pembuat undang-undang dengan tidak boleh mengabaikan hak warga negara yang dijamin UUD 1945," sebutnya.
Batas usia semata bukanlah dalam kualifikasi open Legal Policy, sebab bagian dari imperatif kategoris sebagaimana dimaksud UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara dijamin haknya untuk aktif dan terlibat di pemerintahan.
"Batas usia yang masuk dalam kualifikasi open legal policy adalah yang sifat dan bentuknya imperatif hipotesis. Karena penentuan kebijakan partisipasi warga negaranya terikat persyaratan berdasarkan tujuan dan maksud tertentu (dalam hal ini KPK), yang memerlukan kualifikasi dan keahlian tertentu yang dipersyaratkan, dan oleh karenanya," jelas dia.
Untuk yang ketiga kata Hasanuddin, batas usia minimal 50 Tahun sebagaimana dimaksud UU KPK terikat pada ketentuan ayat d Pasal 29 UU KPK yang menyebutkan: "berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;
"Dan tentu saja, huruf d dimaksud dalam pasal tersebut, haruslah diuji hipotesisnya, terkait dengan ketentuan usia minimal 50 Tahun," tegas dia.
"Sebab, secara hipotesis ayat d Pasal 29 tersebut tidak bersesuaian dengan ayat e. Yang berpotensi mengabaikan hak warga negara terlibat dalam pemerintahan sebagaimana UUD 1945," imbuhnya.
Pertimbanga optimisme yang Keempat menurut Hasanuddin adalah substansinya adalah open legal policy yang menjadi dalil batas usia sebagaimana wacana yang berkembang, tidaklah serta merta menjadi hak pembuat undang-undang secara serta merta dengan kebebasan, dan MK tentu harus mempertimbangkan hal ini demi kepastian hukum dan kewenangan yang diberikan padanya.
"Kami, Siaga 98 memuji langkah Nurul Ghufron dengan mengajukan permohonan ke MK untuk kepastian hukum. Tidak hanya soal kepentingan pribadi yang bersangkutan, melainkan soal isu hukum dan wacana kepastian dan keadilan bagi semua pihak atau publik.Khususnya, terkait dalil open legal policy agar tidak liar dan kebablasan," ungkapnya.
Bagaimanapun hukum dibuat agar ada pedoman bagi semua pihak dalam relasi sosial agar tertib sebagai suatu upaya moral dengan instrumen hukum sebagai imperatif kategoris.
"Dan oleh karenanya dalam pengertian spesifik pasal-pasal yang saling bertentangan akan merusak bangunan undang-undang dan tentu tidak dikehendaki oleh UUD 1945?" katanya.
Kemudian lanjut Hasanuddin lagi rasa optimis yang kedua adalah dalam hal batas usia minimal dan maksimal dikualifikasi sebagai bagian dari Open Legal Policy. "Tentu saja haruslah tunduk pada syarat-syarat tujuan yang hendak dicapai pembuat undang-undang dengan tidak boleh mengabaikan hak warga negara yang dijamin UUD 1945," sebutnya.
Batas usia semata bukanlah dalam kualifikasi open Legal Policy, sebab bagian dari imperatif kategoris sebagaimana dimaksud UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara dijamin haknya untuk aktif dan terlibat di pemerintahan.
"Batas usia yang masuk dalam kualifikasi open legal policy adalah yang sifat dan bentuknya imperatif hipotesis. Karena penentuan kebijakan partisipasi warga negaranya terikat persyaratan berdasarkan tujuan dan maksud tertentu (dalam hal ini KPK), yang memerlukan kualifikasi dan keahlian tertentu yang dipersyaratkan, dan oleh karenanya," jelas dia.
Untuk yang ketiga kata Hasanuddin, batas usia minimal 50 Tahun sebagaimana dimaksud UU KPK terikat pada ketentuan ayat d Pasal 29 UU KPK yang menyebutkan: "berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;
"Dan tentu saja, huruf d dimaksud dalam pasal tersebut, haruslah diuji hipotesisnya, terkait dengan ketentuan usia minimal 50 Tahun," tegas dia.
"Sebab, secara hipotesis ayat d Pasal 29 tersebut tidak bersesuaian dengan ayat e. Yang berpotensi mengabaikan hak warga negara terlibat dalam pemerintahan sebagaimana UUD 1945," imbuhnya.
Pertimbanga optimisme yang Keempat menurut Hasanuddin adalah substansinya adalah open legal policy yang menjadi dalil batas usia sebagaimana wacana yang berkembang, tidaklah serta merta menjadi hak pembuat undang-undang secara serta merta dengan kebebasan, dan MK tentu harus mempertimbangkan hal ini demi kepastian hukum dan kewenangan yang diberikan padanya.
"Kami, Siaga 98 memuji langkah Nurul Ghufron dengan mengajukan permohonan ke MK untuk kepastian hukum. Tidak hanya soal kepentingan pribadi yang bersangkutan, melainkan soal isu hukum dan wacana kepastian dan keadilan bagi semua pihak atau publik.Khususnya, terkait dalil open legal policy agar tidak liar dan kebablasan," ungkapnya.
Bagaimanapun hukum dibuat agar ada pedoman bagi semua pihak dalam relasi sosial agar tertib sebagai suatu upaya moral dengan instrumen hukum sebagai imperatif kategoris.