Iklan

Guru Besar UIN Jakarta: Dorong Penguatan Arsitektur Kesehatan Nasional yang Kokoh

warta pembaruan
04 November 2022 | 2:56 PM WIB Last Updated 2022-11-04T07:56:27Z


Jakarta, Wartapembaruan.co.id
- Pengalaman dunia yang gagap dalam menghadapi situasi darurat pandemi Covid-19 membuat kesadaran akan restrukturisasi arsitektur kesehatan global menjadi meningkat. Penguatan arsitektur kesehatan global bahkan menjadi isu prioritas dalam Presidensi G20 Indonesia 2022 sebagai kunci pemulihan global yang kuat dan berkelanjutan.

Mendukung upaya penguatan tersebut, Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (Poskolegnas) UIN Syarif Hidayatullah menggelar Seminar dan Diskusi Publik bertajuk Mengurai Persoalan Basis Data Dalam Penyusunan Arah Kebijakan dan Desain Arsitektur Kesehatan Nasional di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (3/11/22).

“Terdapat tiga strategi kebijakan yang didorong oleh Forum Presidensi G20 dalam upaya memperkuat arsitektur kesehatan global. Pertama, menyusun dan membangun mekanisme global health fund. Kedua, membuka akses penanggulangan darurat kesehatan. dan ketiga, penguatan mekanisme berbagi data yang tepercaya dengan pembentukan platform genome sequence data secara global”, ungkap pembicara kunci seminar Dekan sekaligus Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie.

Menurut Prof Tholabi, yang juga Ketua Forum Dekan Syariah dan Hukum PTKIN se Indonesia, salah satu kunci peningkatan arsitektur kesehatan global adalah ihwal ruang akses dan informasi data. Melihat pengalaman awal Covid-19, distribusi informasi dan data yang tidak merata justru menjadi penghambat penanggulangan pandemi. Tholabi mencontohkan, “Saat itu data sekuens genom hanya dapat diakses oleh Moderna, dan BioNTech. Padahal, data tersebut dibutuhkan banyak negara sebagai bagian mitigasi, termasuk pembuatan vaksin”.

Tak hanya soal pandemi, di Indonesia, ketidakcocokan alias diskrepansi data kerap terjadi antarkementerian dan lembaga. Tak jarang ditemukan beberapa kementerian atau lembaga memiliki datanya masing-masing untuk satu hal yang sama. Prof Tholabi mencontohkan terkait data prevalensi anak merokok (10-18 tahun) yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik. Tentunya, hal ini berpotensi mengaburkan fokus dan arah kebijakan terkait akibat dari anomie atau ketidakpastian yang timbul karena rancunya data yang dapat dijadikan rujukan. Padahal, suatu kebijakan, terutama yang berkaitan dengan orang banyak, sepatutnya dibuat dengan basis data yang solid.

“Polemik soal data kerap menjadi perdebatan klasik. Jika dirunut, akar persoalannya juga masih sama, yakni soal ego sektoral yang pada akhirnya berdampak pada beragamnya varian data yang dirilis oleh masing-masing lembaga pemerintahan. Implikasinya, data-data yang berbeda dapat menghasilkan tafsir yang berbeda-beda dengan implikasi kebijakan yang berbeda pula,” sambung Prof Tholabi yang juga aktif dalam APHTN-HAN.

Oleh karenanya, penyusunan kebijakan berbasis data tersinergi dalam satu wadah menjadi keharusan, terutama dalam bidang kesehatan. Hal tersebut misalnya bermanfaat dalam mengambil kebijakan strategis dalam situasi darurat. Misalnya terkait kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang sebelumnya diberlakukan secara tentatif demi mencegah transmisi Covid-19.

Diskursus soal data memang perlu menjadi fokus banyak elemen dan pemangku kebijakan baik pemerintah, dan swasta, sampai masyarakat. Selain sebagai dasar perumusan kebijakan, dengan basis data yang lebih baik, informasi yang tersedia bagi masyarakat juga akan lebih akurat, sehingga masyarakat dapat tergerak untuk berpartisipasi lebih banyak dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh pemerintah untuk kepentingan semua pihak. [**]
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Guru Besar UIN Jakarta: Dorong Penguatan Arsitektur Kesehatan Nasional yang Kokoh

Trending Now

Iklan