Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Partai Buruh dan organisasi serikat buruh menyikapi terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 (Permenaker 18/2022) yang menjadi dasar hukum dalam menentukan kenaikan upah minimum, baik Upah Minimum Provinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sebagai pengganti PP No 36 Tahun 2021. Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan 5 (lima) catatan terkait dengan terbitnya Permenaker 18/2022.
Pertama, pihaknya mengapresiasi dan berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo dan Menaker Ida Fauziah atas tidak digunakannya PP 36/2021 sebagai dasar hukum untuk menetapkan upah minimum.
“Partai Buruh dan organisasi serikat buruh mengapresiasi keluarnya dasar hukum penetapan upah minimum yang tidak menggunakan PP 36/2021,” ucap Said Iqbal.
“Tentu Permenaker 18/2021 akan menjadi dasar hukum berikutnya, jangan hanya tahun ini saja. Setidaknya hingga keluar peraturan baru, yaitu omnibus law klaster ketenagakerjaan diputuskan lain,” tambahnya.
Dalam hal ini, Said Iqbal berkeyakinan bahwa Presiden Jokowi akan mengeluarkan Perpu tentang Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Kedua, Pemenaker 18/2022 harus diterjemahkan oleh Dewan Pengupahan di Provinsi maupun Kab/Kota sebagai dasar untuk merekomendasikan kenaikan upah minimum kepada Bupati/Walikota maupun Gubernur.
“Bahkan Gubernur sudah diundang oleh Menaker dan Mendagri untuk diberikan penjelasan tentang tata cara kenaikan upah minimum 2023 sesuai Permenaker ini,” tegasnya, sehingga sudah clear, PP 36/2021 sudah tidak bisa lagi digunakan sebagai acuan penetapan upah minimum.
Ketiga, terhadap isi Permenaker 18/2022 tentang penetapan upah minimum 2023, Partai buruh dan serikat buruh menyayangkan rumus yang dipakai ngejelimet dan ruwet. Seharusnya, kata Said Iqbal, tidak perlu seperti itu.
Dalam hal ini, Said Iqbal memberikan dua alternatif. Pertama, kenaikan upah minimum sama dengan inflansi plus pertumbuhan ekonomi. Ini lazim berlaku di seluruh dunia. Di mana Inflansi dan pertumbuhan ekonomi yang digunakan adalah bulan Januari – Desember pada tahun berjalan. Sedangkan alternatif kedua, menghitung standart biaya hidup (living cost).
“Di mana untuk Indonesia standard biaya hidup tersebut dinamai kebutuhan hidup layak (KHL), yang terdiri dari 64 item KHL mulai dari harga daging, beras, baju, dan seterusnya. Hasil survey kebutuhan hidup layak inilah yang dirundingkan di Dewan Pengupahan untuk dikrekomendasikan kepada Bupati/Walikota maupun Gubernur,” tuturnya.
Keempat, Di dalam isi Permenaker 18/2021, setelah dihitung dengan rumus yang menjelimet dan ruwet, dikatakan di dalam salah satu pasalnya, kenaikan upah minimum makasimal 10%.
“Kalimat tentang maksimal 10% ini menimbulkan kebingungan dan pengertian yang keliru tentang upah minimum. Upah minimum itu minimum, tidak ada kata maksimum,” kata Said Iqbal.
Menurutnya, upah minimum di dalam konvensi ILO No 133 atau UU No 13 Tahun 2003 adalah jaring pengaman (savety net) agar buruh tidak absolut miskin. Agar pengusaha tidak membayar upah buruh dengan murah dan seenak mereka. Karena itu, negara harus melindundi masyarakat yang akan memasuki dunia kerja dengan menetapkan kebijakan upah minimum.
“Upah minimum kan savety net. Kenapa harus menjadi maksimum? Oleh karena itu, seharusnya tidak ada definisi maksimal 10%,” ujar Said Iqbal.
Kelima, Partai Buruh dan organsiasi serikat buruh menyerukan agar setiap daerah dengan dasar hukum Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tadi, Dewan Pengupahannya berjuang minimal kenaikan upah minimum adalah 10%. Jika lebih dari 10%, itu adalah hasil dari perundingan.
“Maka Partai Buruh dan organisasi serikat buruh menyerukan, agar UMK di tingkat kabupaten/kota dan UMP di tingkat provinsi berjuanglah minimal naiknya 10%,” tegas Said Iqbal.
“Kalau ditanya sikap Partai Buruh dan organsiasi serikat buruh, sikap kami tetap naik 13%. Pemerintah pusat, Gubernur, Bupati/Walikota, dan yang paling menentukan adalah Gubernur karena yang akan menandatangani SK upah minimum; kami berharap sekali dapat dikabulkan adalah 13% dengan mengitung inflansi dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Namun demikian, pihaknya menghimbau agar Gunernur, Bupati/Walikota, menggunakan yang paling rasional. Baik UMP dan UMK naiknya minimal 10%. Nilai ini didapat dari inflansi tahun berjalan 6,5% dan pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun nanti diperkirakan 4 hingga 5%.
“Kita ambil yang paling rendah, katakan 4 persen. Jadi 4 persen ditambah inflansi 6,5 persen, nilainya 10,5 persen. %. Maka kenaikan 10% masuk akal, dan itu diperbolehkan oleh Permenaker,” pungkas Said Iqbal. (Azwar)
“Bahkan Gubernur sudah diundang oleh Menaker dan Mendagri untuk diberikan penjelasan tentang tata cara kenaikan upah minimum 2023 sesuai Permenaker ini,” tegasnya, sehingga sudah clear, PP 36/2021 sudah tidak bisa lagi digunakan sebagai acuan penetapan upah minimum.
Ketiga, terhadap isi Permenaker 18/2022 tentang penetapan upah minimum 2023, Partai buruh dan serikat buruh menyayangkan rumus yang dipakai ngejelimet dan ruwet. Seharusnya, kata Said Iqbal, tidak perlu seperti itu.
Dalam hal ini, Said Iqbal memberikan dua alternatif. Pertama, kenaikan upah minimum sama dengan inflansi plus pertumbuhan ekonomi. Ini lazim berlaku di seluruh dunia. Di mana Inflansi dan pertumbuhan ekonomi yang digunakan adalah bulan Januari – Desember pada tahun berjalan. Sedangkan alternatif kedua, menghitung standart biaya hidup (living cost).
“Di mana untuk Indonesia standard biaya hidup tersebut dinamai kebutuhan hidup layak (KHL), yang terdiri dari 64 item KHL mulai dari harga daging, beras, baju, dan seterusnya. Hasil survey kebutuhan hidup layak inilah yang dirundingkan di Dewan Pengupahan untuk dikrekomendasikan kepada Bupati/Walikota maupun Gubernur,” tuturnya.
Keempat, Di dalam isi Permenaker 18/2021, setelah dihitung dengan rumus yang menjelimet dan ruwet, dikatakan di dalam salah satu pasalnya, kenaikan upah minimum makasimal 10%.
“Kalimat tentang maksimal 10% ini menimbulkan kebingungan dan pengertian yang keliru tentang upah minimum. Upah minimum itu minimum, tidak ada kata maksimum,” kata Said Iqbal.
Menurutnya, upah minimum di dalam konvensi ILO No 133 atau UU No 13 Tahun 2003 adalah jaring pengaman (savety net) agar buruh tidak absolut miskin. Agar pengusaha tidak membayar upah buruh dengan murah dan seenak mereka. Karena itu, negara harus melindundi masyarakat yang akan memasuki dunia kerja dengan menetapkan kebijakan upah minimum.
“Upah minimum kan savety net. Kenapa harus menjadi maksimum? Oleh karena itu, seharusnya tidak ada definisi maksimal 10%,” ujar Said Iqbal.
Kelima, Partai Buruh dan organsiasi serikat buruh menyerukan agar setiap daerah dengan dasar hukum Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tadi, Dewan Pengupahannya berjuang minimal kenaikan upah minimum adalah 10%. Jika lebih dari 10%, itu adalah hasil dari perundingan.
“Maka Partai Buruh dan organisasi serikat buruh menyerukan, agar UMK di tingkat kabupaten/kota dan UMP di tingkat provinsi berjuanglah minimal naiknya 10%,” tegas Said Iqbal.
“Kalau ditanya sikap Partai Buruh dan organsiasi serikat buruh, sikap kami tetap naik 13%. Pemerintah pusat, Gubernur, Bupati/Walikota, dan yang paling menentukan adalah Gubernur karena yang akan menandatangani SK upah minimum; kami berharap sekali dapat dikabulkan adalah 13% dengan mengitung inflansi dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Namun demikian, pihaknya menghimbau agar Gunernur, Bupati/Walikota, menggunakan yang paling rasional. Baik UMP dan UMK naiknya minimal 10%. Nilai ini didapat dari inflansi tahun berjalan 6,5% dan pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun nanti diperkirakan 4 hingga 5%.
“Kita ambil yang paling rendah, katakan 4 persen. Jadi 4 persen ditambah inflansi 6,5 persen, nilainya 10,5 persen. %. Maka kenaikan 10% masuk akal, dan itu diperbolehkan oleh Permenaker,” pungkas Said Iqbal. (Azwar)