Jakarta, Wartapembaruan.co.id – Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menyoroti buruknya kerja dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di balik tingginya kasus misterius gagal ginjal pada anak-anak. Kasus ini diduga karena adanya zat ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) di dalam obat sirup cair yang selama ini beredar luas di masyarakat.Ketua Umum KPCDI, Tony Richard Samosir menyayangkan hingga saat ini sebanyak 141 anak-anak tidak dapat tertolong. Hal ini menggambarkan bahwa fatality rate kasus ini sangat tinggi atau di atas 50% dari jumlah yang dilaporkan sejauh ini yakni 245 kasus di seluruh Indonesia. Kemungkinan data ini akan terus bertambah dalam beberapa hari ke depan.
Jika benar kejadian besar ini terjadi karena kandungan zat yang berada di dalam obat-obatan, menurut Tony, selain industri farmasi ikut bertanggungjawab terhadap keamanan dan mutu obat, BPOM sebagai pemangku kepentingan dalam hal ini harus ikut bertanggung jawab juga. Dimana salah satu tugas dan fungsi BPOM adalah mengeluarkan izin edar obat atau makanan hingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat secara aman.
“Kita juga tahu bahwa BPOM tugasnya melakukan pengawasan pre-market dan post-market. Mereka juga menjadi pihak yang melakukan uji laboratorium guna mengetahui apakah obat sirup ini telah memenuhi syarat keamanan,” kata Tony di Jakarta, Selasa (25/10).
Atas dasar itu, Tony mempertanyakan bagaimana mekanisme kerja BPOM dalam memeriksa kandungan, komposisi, dan izin edar dari obat dan makanan yang dikonsumsi masyarakat. Bahayanya, bagi Tony jika pemeriksaan ini dilakukan tidak rutin sehingga hal ini dapat terjadi—dan tidak menutup kemungkinan terjadi obat dan makanan jenis lainnya.
“Tentu jangan sampai sudah kecolongan seperti ini kita panik seluruhnya, dievaluasi, dan ditarik kembali setelah jatuhnya korban,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal KPCDI Petrus Haryanto menilai kejadian ini adalah fenomena gunung es yang selama ini dialami oleh Pasien Gagal Ginjal Akut pada anak di Indonesia. Pemerintah—dalam hal ini Kementerian Kesehatan sebagai penanggung jawab kesehatan masyarakat harus meningkatkan kinerjanya agar kejadian ini tidak banyak memakan korban.
Kejadian ini sekaligus membuka tabir bahwa pemerintah selama ini melupakan sistem kesehatan ginjal tidak hanya bagi orang dewasa namun juga pada anak. Saat ini, fasilitas kesehatan ginjal di Indonesia cenderung sangat minim dan tidak merata. Mulai dari fasilitas kesehatan, mesin dialisis, hingga tenaga kesehatan—perawat serta dokter ginjal dewasa dan anak—hanya terpusat di Jawa dan Bali saja.
Perlu diketahui, jika seorang anak terdiagnosis gagal ginjal akut, maka ada dua metode terapi yang bisa digunakan. Yaitu terapi konservatif dengan konsumsi obat-obatan dan dengan terapi cuci darah atau dialisis. Sayangnya, pada poin kedua fasilitas kesehatan itu belum merata dengan baik di Indonesia.
Data KPCDI mencatat, sebelum kejadian meraknya gagal ginjal akut saat ini, dalam beberapa kasus pun para orang tua harus menempuh jarak ratusan ribu kilometer dari daerah asal ke Jakarta karena anaknya harus mendapatkan rujukan demi mengobati penyakitnya. Ironisnya, di Jakarta baru ada dua fasilitas kesehatan yakni RS Cipto Mangungkusumo dan RS Harapan Kita yang memiliki fasilitas kesehatan gagal ginjal pada anak.
“Kita mendesak pemerintah agar segera membangun fasilitas kesehatan ginjal pada anak. Khususnya menyediakan mesin cuci darah untuk anak, karena memang saat ini terbatas jumlahnya. Makanya setelah terjadi kejadian ini yang membutuhkan cuci darah, kematian pada anak cukup tinggi karena fasilitasnya sangat minim dan sistem antrian yang panjang,” kata Petrus.
Di sisi lain, pemerintah pusat dan daerah juga harus bergerak cepat dalam memaksimalkan seluruh faskes yang ada di daerah untuk menyisir pasien dan melakukan deteksi dini. Faskes pertama juga diharapkan bisa menjadi tempat terdepan dalam melakukan penanganan sehingga pasien tidak perlu dirujuk ke kota. Musababnya, penyakit gagal ginjal sangat cepat memburuk dan berpotensi mengakibatkan kematian jika penanganannya lambat.
“Membangun sistem rujukan yang terintegrasi juga sangat penting, agar bila terdiagnosis bisa dirujuk ke fasilitas yang memiliki kompetensi dalam menangani gagal ginjal akut pada anak. Disitu harus bisa melakukan cuci darah, baik yang sifatnya sementara atau permanen,” ujarnya.
Bagi Petrus, jika pemerintah tidak sungguh-sungguh menangani kasus gagal ginjal akut pada anak dan membangun fasilitas kesehatan yang memadai di seluruh wilayah Indonesia bukan tidak mungkin angka mortalitasnya akan terus meningkat. Apalagi, tidak semua orang tua memiliki biaya untuk datang ke Jakarta demi mengobati anaknya.
“Faskes pertama harus melakukan tindakan preventif dan promotif, bagaimana berhubungan dengan masyarakat, bagaimana bahayanya penggunaan obat secara bebas, bahwa sebisa mungkin sakit diobati di faskes dan bukan diobati secara mandiri,” tutupnya.