Jakarta, Wartapembaruan.co.id -- Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) kembali menggelar sidang lanjutan gugatan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atas terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi pada bulan Maret-April 2022 dengan Perkara Nomor 150/G/TF/2022/PTUN.JKT. Kini sidang telah memasuki agenda mendengarkan keterangan ahli dari Pihak Penggugat. Dalam dua kali persidangan yaitu pada 13 dan 20 Oktober 2022 lalu. Tiga orang ahli yang memberikan keterangan sebagai ahli menjelaskan mengenai latar belakang dan tanggung jawab Menteri Perdagangan dan Presiden Jokowi terkait penyebab kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng yang terjadi pada periode Maret-April 2022 lalu.Dr. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum, Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta selaku ahli hukum administrasi negara mengatakan bahwa “Dalam konteks menyediakan pasokan minyak goreng, ini adalah salah satu tanggung jawab atau kewajiban pemerintah. Kewajiban ini masuk dalam klasifikasi sebagai tindakan faktual karena tujuan melaksanakan fungsi pelayanan publik seluas-luasnya kepada masyarakat. Tindakan faktual yang dilakukan oleh Administrasi Negara tidak hanya terbatas pada tindakan aktif saja namun juga perbuatan pasif (pendiaman akan sesuatu hal). Tindakan faktual pasif juga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum pemerintah karena setiap tindakan pemerintah baik pasif maupun pasif selalu diasumsikan melekat kewajiban untuk mematuhi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik,” kata Riawan.
“Dalam teori hukum administrasi negara, tindakan faktual (inesse actionem), dapat diklasifikasikan meliputi tindakan faktual yang bersifat aktif (Activae Inesse Actionem) dan tindakan faktual yang bersifat pasif (Passivum Inesse Actionem). Keduanya dapat menimbulkan akibat berupa perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah sebagai penguasa (illicita perimperium). Hal itu dapat dikualifikasi berdasarkan fakta-fakta dalam peristiwa kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng terjadi hampir di seluruh Indonesia yang secara yuridis bertentangan dengan kewajiban hukum Menteri Perdagangan dan Presiden untuk memenuhi hak-hak masyarakat Indonesia atas kebutuhan pokok in casu minyak goreng,” tambah Riawan.
“Jika mengaitkan antara unsur dalam rumusan pasal perbuatan melawan hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata dengan fakta-fakta hukum dalam gugatan ini maka dapat dikualifikasi perbuatan melawan hukum pemerintah yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan dan Presiden adalah,
Pertama, tindakan administrasi pemerintahan dalam hal tidak melakukan perbuatan konkret (tindakan faktual pasif) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan berupa jaminan pemenuhan pasokan dan stabilisasi harga kebutuhan pokok (minyak goreng) serta verfikasi dan pendataan pola distribusinya.
Kedua, tindakan administrasi pemerintah yang telah bertentangan dengan kewajibannya sebagai pejabat tata usaha negara yang melaksanakan fungsi pemerintahan, seharusnya bersifat aktif guna mencegah terjadinya kondisi yang tidak diharapkan berupa kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng.
Ketiga, kesalahan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbuatan melawan hukum karena tindakan faktual pasif dari Menteri Perdagangan dan Presiden.
Keempat, menimbulkan kerugian yang dialami oleh individu-individu yang harus mengalami kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng dan tingginya harga minyak goreng.
Dan, kelima, adanya hubungan kausal antara tindakan faktual pemerintah dengan tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng di seluruh Indonesia pada 16 Maret – 30 April 2022.
Jika merujuk pertimbangan Arrest HR tanggal 31 Januari 1919 terkait kriteria untuk menentukan suatu perbuatan bersifat bertentangan dengan hukum maka tindakan Menteri Perdagangan dan Presiden di atas telah memenuhi kriteria sebagai perbuatan melawan hukum pemerintah sebagaimana dimaksudkan oleh Perma No. 2 Tahun 2019,” terang Riawan.
Faisal Basri, seorang Ekonom Senior Universitas Indonesia memperkuat dari sudut pandang ekonomi, “Tugas dari pemerintah adalah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau dan tersedia. Dalam kasus langka dan tingginya harga minyak goreng, Pemerintah tidak memetakan permasalahan ini dengan baik dengan menyatakan penyebab hal ini terjadi adalah perusahaan banyak melakukan ekspor, padahal secara angka dan data jumlah ekspor justru menurun pada tahun 2021,” papar Faisal.
“Saya menilai kebijakan pemerintah terkait minyak goreng ini adalah yang terburuk sepanjang sejarah Republik Indonesia, karena semua pihak dirugikan atas kebijakan ini. Kebijakan dua harga untuk biodiesel menjadi biang kerok, dimana barang (biodiesel) yang sama dan identik namun harganya berbeda (ekspor dan domestik).” Terkait alokasi CPO dalam negeri, saya melihat adanya persaingan antara CPO untuk Pangan dan CPO untuk Biodiesel. Pemerintah mengutamakan CPO untuk energi dibandingkan pangan. Belum ada kebijakan pemerintah untuk alokasi CPO ini,” tambah Faisal.
Bhima Yudhistira, Direktur dari Center of Economic and Law Studies turut menambahkan, “Permasalahan stabilitas harga dan pasokan minyak goreng bersumber sekurang-kurangnya dari tiga hal. Pertama, masalah tata niaga terutama pada saat menghadapi kenaikan harga CPO di pasar internasional.
Faisal Basri, seorang Ekonom Senior Universitas Indonesia memperkuat dari sudut pandang ekonomi, “Tugas dari pemerintah adalah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau dan tersedia. Dalam kasus langka dan tingginya harga minyak goreng, Pemerintah tidak memetakan permasalahan ini dengan baik dengan menyatakan penyebab hal ini terjadi adalah perusahaan banyak melakukan ekspor, padahal secara angka dan data jumlah ekspor justru menurun pada tahun 2021,” papar Faisal.
“Saya menilai kebijakan pemerintah terkait minyak goreng ini adalah yang terburuk sepanjang sejarah Republik Indonesia, karena semua pihak dirugikan atas kebijakan ini. Kebijakan dua harga untuk biodiesel menjadi biang kerok, dimana barang (biodiesel) yang sama dan identik namun harganya berbeda (ekspor dan domestik).” Terkait alokasi CPO dalam negeri, saya melihat adanya persaingan antara CPO untuk Pangan dan CPO untuk Biodiesel. Pemerintah mengutamakan CPO untuk energi dibandingkan pangan. Belum ada kebijakan pemerintah untuk alokasi CPO ini,” tambah Faisal.
Bhima Yudhistira, Direktur dari Center of Economic and Law Studies turut menambahkan, “Permasalahan stabilitas harga dan pasokan minyak goreng bersumber sekurang-kurangnya dari tiga hal. Pertama, masalah tata niaga terutama pada saat menghadapi kenaikan harga CPO di pasar internasional.
“Pemerintah dalam berbagai argumentasi sering menyalahkan kenaikan harga CPO di tingkat internasional sebagai penyebab terjadinya kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng domestik. Kondisi itu justru menunjukkan adanya masalah pada tata niaga akan terlihat pada saat harga CPO di pasar internasional sedang tinggi. Saat ini harga CPO internasional telah mengalami penurunan sebesar 22,1% (tradingeconomics per 18 Oktober 2022) yang mengakibatkan harga minyak goreng di pasar turun.
Yang menjadi pertanyaan, jika harga CPO di pasar internasional kembali naik secara signifikan, maka risiko masalah krisis minyak goreng bisa berulang,” ujar Bhima.
“Kedua, ketidakmampuan pengambil kebijakan dalam mengendalikan pasokan CPO untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri. Indonesia sebagai produsen sawit terbesar yang pada tahun 2021 mencapai produksi CPO sebesar 46,8 juta ton. Sementara kebutuhan CPO dalam negeri hanya mencapai 6-7 juta ton atau 14,9% dari total produksi, idealnya kebutuhan dalam negeri yang relatif kecil mampu diatur oleh Kementerian Perdagangan. Ketika harga CPO di pasar internasional naik tinggi, Kementerian Perdagangan tidak melakukan upaya serius dalam menjaga ketersediaan pasokan CPO khususnya untuk industri minyak goreng,” tambah Bhima.
“Ketiga, tidak tersedianya data produksi dan konsumsi minyak goreng yang akurat. Tidak adanya akurasi data dalam mengurai sumbatan pada rantai pasok minyak goreng menimbulkan kebijakan yang tidak tepat sasaran.
“Kedua, ketidakmampuan pengambil kebijakan dalam mengendalikan pasokan CPO untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri. Indonesia sebagai produsen sawit terbesar yang pada tahun 2021 mencapai produksi CPO sebesar 46,8 juta ton. Sementara kebutuhan CPO dalam negeri hanya mencapai 6-7 juta ton atau 14,9% dari total produksi, idealnya kebutuhan dalam negeri yang relatif kecil mampu diatur oleh Kementerian Perdagangan. Ketika harga CPO di pasar internasional naik tinggi, Kementerian Perdagangan tidak melakukan upaya serius dalam menjaga ketersediaan pasokan CPO khususnya untuk industri minyak goreng,” tambah Bhima.
“Ketiga, tidak tersedianya data produksi dan konsumsi minyak goreng yang akurat. Tidak adanya akurasi data dalam mengurai sumbatan pada rantai pasok minyak goreng menimbulkan kebijakan yang tidak tepat sasaran.
Sebagai contoh implementasi DMO dan DPO CPO dan RBD Olein sebagai bahan baku minyak goreng tidak berdasarkan pada data faktual, dimana perusahaan yang tidak memenuhi realisasi penjualan produk CPO dan RBD Olein di dalam negeri tetap mendapatkan persetujuan ekspor,” tutup Bhima
Pada 2 Juni 2022, Sawit Watch bersama dengan Tim Advokasi Kebutuhan Pokok Rakyat, didukung oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil: HuMa, WALHI Nasional, ELSAM, Greenpeace Indonesia, dan PILNET Indonesia mengajukan gugatan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Presiden Republik Indonesia dan Menteri Perdagangan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena adanya kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng. Dalam petitum, Sawit Watch menuntut Jokowi selaku Presiden dan Menteri Perdagangan untuk menjamin pasokan dan stabilisasi harga Minyak Goreng untuk menjaga keterjangkauan harga di tingkat konsumen bagi seluruh warga Indonesia.
Pada 2 Juni 2022, Sawit Watch bersama dengan Tim Advokasi Kebutuhan Pokok Rakyat, didukung oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil: HuMa, WALHI Nasional, ELSAM, Greenpeace Indonesia, dan PILNET Indonesia mengajukan gugatan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Presiden Republik Indonesia dan Menteri Perdagangan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena adanya kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng. Dalam petitum, Sawit Watch menuntut Jokowi selaku Presiden dan Menteri Perdagangan untuk menjamin pasokan dan stabilisasi harga Minyak Goreng untuk menjaga keterjangkauan harga di tingkat konsumen bagi seluruh warga Indonesia.