JAKARTA, Wartapembaruan.co.id - Sidang lanjutan perkara yang melibatkan terdakwa Ahmad Rohman bin Zakaria kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jl. Gajah Mada No.18, RT.3/RW.1, Petojo Utara, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, pada Kamis (1/9/2022).Dalam agenda Pembuktian tersebut, penasehat hukum terdakwa dari Kantor Hukum YH & Rekan menghadirkan Nafri, S.H selaku Ahli Pelayaran dan Ahli Pidana dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Asst. Prof.Dr.Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPLCE.,CPA
Berdasarkan Pendapat dari Ahli Pelayaran, Nafri, S.H menyatakan bahwa Kolam Pelabuhan Tanjung Priuk diatur dalam Pasal 3 Permen 38 tahun 2012. Sementara Permenhub 154 tahun 2012 mengatur juga tentang Kewenangan syahbandar yang diantaranya menerima kapal-kapal masuk dalam pelabuhan, mengeluarkan SPB.
Dalam penjelasamnya saat ditunjukan Peta oleh Penasehat hukum, Ahli Pelayaran Nafri, S.H menerangkan Bahwa titik koordinat yang didakwakan oleh JPU bukanlah perairan Pelabuhan Marunda akan tetapi masih masuk ke kolam pelabuhan tanjung priok, dan masih berlaku kekuasaan wilayah Syahbandar Tanjung Priok. “Artinya tidak perlu SPB karena berada di Kolam Pelabuhan Tanjung Priok," jelas Nafri sambil menunjuk peta.
Sementara itu dilanjutkan dengan pendapat ahli pidana yang ditanyakan oleh Penasehat Hukum terdakwa kepada Ahli. "Bagaimana pandangan ahli, jika tidak ditemukan adanya niat jahat (meansrea) dalam suatu tindak pidana, jelaskan?” tanyanya.
"Dapat ahli jelaskan dipandang dari sudut pandang pidana, pemenuhan tindak pidana terdiri dari 3 Hal, actus rea, means rea dan akibat hukum,” jelas Ahli Pidana.
Ia menjelaskan dalam pemenuhan tindak pidana Actusrea dan meansrea menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara berkaitan dengan akibat hukum adalah akibat yang timbul dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku delik, contoh kerugian negara dalam UU Tipikor, Orang yang dirugikan dalam Tindak Pidana Penipuan, Perusahaan yang dirugikan dari perbuatan tindak pidana Penggelapan dalam jabatan
“Dari konteks ini ahli berpendapat bahwa jika tidak ditemukan adanya niat jahat (meansrea) untuk melakukan tindak pidana maka terhadap seseorang tersebut tidak lah dapat dipidana, dan jika tidak ditemukan adanya akibat hukum atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, maka terhadap seseorang tersebut tidak lah dapat dipidana,” jelasnya.
Substansi hukum adalah untuk mengatur agar jalannya pemerintahan di suatu negara dapat dilaksanakan dengan baik, esensi dari hukum pidana adalah sebagai ultimum remedium (penyelesaian hukum terakhir) bukan ambisi untuk memenjarakan seseorang.
Penasehat Hukum Terdakwa, Advokat Imam R Sofyan, S.H melanjutkan pertanyaannya, "Ahli, bagaimana pandangan ahli terkait dengan Bukti Surat yang dikeluarkan oleh KEPALA KANTOR OTORITAS PELABULAN UTAMA TANJUNG PRIOK, Perihal : Posisi kapal SPOB Dimas Putra II tertanggal 13 Juni 2022, dimana berdasarkan substansi dari surat tersebut menjelaskan Posisi Kapal SPOB Dimas Putra II Pada tanggal 12 April 2022 Pukul 12:00 – 14.15 WIB berada didalam wilayah DLKR/DLKP Pelabuhan Tanjung Priok pada Kordinat 6o 03’ 546’’ S/106o 56’921’’ E (posisi berdasarkan Surat Panggilan Polisi) atau 6o 03’ 546’’ S/106o 57’34.20’’ E (Posisi berdasarkan Peta Kapal) diperkuat dengan Pernyataan dari Ahli Pelayaran yang menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah Luar Dam Pelabuhan Tanjung Priok bukan wilayah Perairan Pelabuhan Marunda sehingga belum diperlukan izin berlayar, bagaimana Pendapat Ahli yang demikian dikorelasikan dengan Pasal 323 Ayat (1) UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran ?
Ahli Pidana Dr Seno menjawab. "Baik, Dapat ahli jelaskan Pasal 323 Ayat (1) UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran : Nahkoda yang berlayar tanpa memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah),” jelasnya.
Pasal 219 ayat (1) Setiap kapal yang berlayar wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar. Unsur Pasal 323 Ayat (1): Nahkoda yang berlayar; Tanpa memiliki Surat persetujuan berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar.
“Bahwa ahli berpandangan esensi pasal 323 ayat (1) UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran adalah berkaitan dengan nahkoda yang berlayar tanpa izin yang dikeluarkan oleh syahbandar,” katanya.
“Penerapan pasal tersebut harus dibuat terang dan jelas, apakah posisi kapal tersebut telah melawati Batasan Batasan wilayah yang memang diwajibkan harus memiliki izin berlayar, jika posisi kapal yang ditangkap belum melampau wilayah yang mewajibkannya harus ada izin berlayar, maka ahli berpendapat tindak pidana tersebut belumlah terjadi,” lanjut Ahli.
Berdasarkan fakta hukum surat dari Kepala Kantor Pelabuhan utama tanjung Priok perihal Posisi Kapal SPOB Dimas Putra II dan fakta hukum keterangan ahli pelayaran yang menyatakan posisi Kapal SOPB Putra II masih pada wilayah wilayah Luar Dam Pelabuhan Tanjung Priok bukan wilayah Perairan Pelabuhan Marunda.
Dengan demikian ahli berpendapat perbuatan tindak pidana belum lah terjadi dan perbuatan tindak pidana yang disangkakan tidak terpenuhi, sehingga ahli berpendapat terhadap pelaku delik tidak dapat dimintai pertanggung jawaban hukum sebab perbuatan tindak pidana belum lah terjadi
“Berdasarkan adagium hukum: PROBANTIONES BEDENT ESSSE LUCE CLARIRORES : ‘’Dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang dari cahaya’’ berdasarkan adagium tersebut ahli berpendapat bahwa seseorang tidak dapat dipidana berdasarkan dugaan dan alat bukti yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya,” jelas Ahli Pidana.
Kemudian Advokat Haikal, S.H melanjutkan pertanyaan kepada Ahli. “Ahli, jelaskan bagaimana pandangan ahli jika kebenaran Materil dalam proses persidangan tidak terpenuhi dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya, bagaimana akibat hukumnya menurut ahli, selaku ahli pidana ?" tanya Advokat Haikal.
"Dapat Ahli jelaskan pada esensinya persidangan adalah proses untuk menguji kebenaran materil untuk menentukan apakah terdapat kesalahan pada diri terdakwa berdasaran alat bukti yang dihadirkan dimuka persidangan, hal ini untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum bagi hakim didalam memutus perkara sebagaimana yang telah dituangkan dalam pasal 183 KUHAP : hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya,” jawab Ahli.
“Artinya disinilah letak peran hakim dalam mencari kebenaran materil yang merupaan ciri khas hakim pada system peradilan pidana yang menganut civil law. JUDEX DEBET JUDICARE SECUNDUM ALLEGATA ET PROBATA : seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan, artinya ahli berpendapat apabila dalam proses persidangan tidak dijalankan dengan due proses of law, maka muara akhirnya biarlah hakim yang mempertimbangan dengan memutus,” lanjut Ahli Pidana.
“Berdasarkan Yurisprudensi MA No.33K/MIL/2009 salah satu pertimbangannya menyebutkan bahwa jika terjadi keraguan-keraguan apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan (Asas In Dubio Pro Reo)," jelas Ali Pidana Asst. Prof. Dr. Dwi Seno.
Sidang ditutup dengan pemberian cindramata kepada Hakim, Buku Karya Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPCLE., CPA. dengan judul "Ensiklopedia Hukum" Dinamika Negara Hukum, karakteristik Ilmu Hukum dan Metode Penelitian Hukum, dan buku yang berjudul Persoalan Hukum dalam Pengadaan barang dan Jasa.