Jakarta, Wartapembaruan.co.id - Ketua Umum Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII), Saepul Tavip, menilai kehadiran program Pemagangan merupakan salah satu strategi dalam upaya meningkatkan keterampilan kerja dengan pelatihan kerja sehingga kebutuhan industri terhadap angkatan kerja yang produktif dapat terpenuhi. Pemagangan merupakan bagian dari ekosistem pelatihan, yang lebih ditujukan bagi para pencari kerja.Ketentuan tentang Pemagangan diatur dengan jelas di Pasal 21 sampai 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Bab V tentang Pelatihan. "Jadi, pemagangan lebih ditekankan pada proses pelatihan, walaupun disertai dengan praktek kerja di tempat kerja," ucap Saepul Tavip, di Jakarta, Rabu (6/7).
Adapun definisi Pemagangan menurut Pasal 1 angka 11 UU No. 13 Tahun 2003, dikatakannya, adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja yang berkompetensi dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
Di dalam UU Ketenagakerjaan, pemagangan dapat dilakukan di dalam negeri mapun di luar negeri. Persyaratan pemagangan di dalam dan luar negeri sudah diatur dengan sangat jelas, yaitu untuk pemagangan dalam negeri diatur dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 6 tahun 2020, sementara pemagangan luar negeri diatur di Permenakertrans no. 8 Tahun 2008.
Hak peserta Pemagangan antara lain adalah memperoleh uang saku dan uang transport, memperoleh jaminan sosial ketenagakerjaan, memperoleh sertifikat apabila dinyatakan lulus di akhir program.
Hak tersebut merupakan konsekuensi logis dengan aktivitas yang dilakukan peserta pemagangan, baik di dalam negeri maupun luar
negeri.
"Semangat baik pemagangan tersebut, faktanya tidak dimaknai dan dilaksanakan oleh oknum perusahaan yang menjalankan pemagangan dengan memperlakukan peserta pemagangan sebagai pekerja yang bekerja layaknya pekerja biasa dengan hubungan kerja.
Peserta pemagangan kerap bekerja bersama-sama dan pada jam kerja yang sama dengan para pekerja tetap," kata Saeful.
Mereka sesungguhnya dipekerjakan dalam suatu hubungan kerja, yang memenuhi unsur-unsur adanya upah (walau dalam bentuk uang saku), perintah kerja, dan pekerjaan, namun mereka disebut sebagai peserta pemagangan dengan perjanjian pemagangan. Praktek pemagangan yang mempekerjakan peserta pemagangan sebagai pekerja semakin marak saat ini, dan dilakukan dengan perpanjangan sampai lebih dari setahun, tambahnya.
Tentunya praktek pemagangan semacam ini menjadi cara bagi oknum perusahaan untuk mendapatkan pekerja dengan upah murah, namun dengan target dan produktivitas yang sama dengan pekerja tetap lainnya.
Demikian juga dengan pelaksanaan magang di luar negeri. Peserta magang luar negeri, kecenderungannya diperlakukan sebagai pekerja yang melakukan pekerjaanpekerjaan yang dilakukan oleh pekerja biasa pada umumnya di sana. Dengan status sebagai peserta magang namun sesungguhnya mereka bekerja layaknya pekerja migran di luar negeri.
Indikasi mereka dipekerjakan sebagai pekerja di luar negeri disebutkan oleh Menteri Ketenagakerjaan RI yang menyatakan Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan terus berupaya meningkatkan jumlah peserta program pemagangan ke Jepang. Namun pemenuhan peserta pemagangan tersebut harus diimbangi
kompetensi, keterampilan kerja agar sesuai kebutuhan industri di negeri Sakura tersebut.
Bila melakukan magang mengapa harus dipersyaratkan kompetensi, keterampilan kerja sesuai kebutuhan industri? Bukankah bila memang sudah memiliki kompetensi keterampilan kerja berarti mereka adalah pekerja yang siap bekerja, bukan peserta magang.
Dengan status sebagai peserta magang maka mereka tidak bisa disebut sebagai pekerja migran Indonesia (PMI), karena mengacu pada Pasal 4 ayat (2b) UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI, pelajar dan peserta pelatihan di luar negeri bukan PMI. Peserta pemagangan ke luar negeri tidak dilindungi oleh Jaminan
Kecelakan Kerja dan Jaminan Kematian.
Baik pemagangan di dalam negeri maupun di luar negeri, terindikasi kuat adanya penyelundupan hukum sehingga peserta pemagangan dipekerjakan seperti layaknya pekerja pada umumnya, dan ini upaya untuk menghindari ketentuan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, serta UU No. 18 tahun 2017 tentang
Perlindungan PMI. Untuk peserta pemagangan di dalam negeri seharusnya mereka dijadikan pekerja dengan hubungan kerja yang jelas, dan mendapatkan enam program jaminan sosial yaitu JKN, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan
Kematian (JKm), JHT, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Demikian juga peserta pemagangan di luar negeri seharusnya diposisikan sebagai PMI yang mendapatkan perlindungan sesuai UU No. 18 tahun 2017, dan wajib mendapatkan JKK dan JKm serta dapat mengikuti JHT. Peserta pemagangan yang bekerja di luar negeripun beresiko mengalami kecelakaan kerja hingga kematian sehingga harus dilindungi JKK dan JKm.
Untuk memastikan pelaksanaan pemagangan di dalam negeri sesuai dengan ketentuan hukum positif ketenagakerjaan termasuk dilindungi oleh enam program jaminan sosial, dan peserta pemagangan di luar negeri harus dilindungi UU No. 18 Tahun 2017 serta dijamin oleh minimal program JKK dan JKm.
Untuk itu Institut Hubungan Industrial Indonesia menyatakan sikap :
1. Mendesak Kementerian Ketenagakerjaan RI untuk mengkaji ulang isi Permenaker No. 6 tahun 2020 dan Permenakertrans No. 8 Tahun 2008, dan disesuaikan dengan definisi dan ketentuan Pemagangan berdasarkan UU Ketenagakerjaan.
2. Mendesak Kementerian Ketenagakerjaan RI Cq. Pengawas Ketenagakerjaan melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih intensif dan tegas atas pelaksanaan pemagangan di dalam negeri maupun di luar negeri yang kerap melenceng dari ketentuan yang berlaku.
3. Mendesak kepada Perusahaan-perusahaan maupun Lembaga-lembaga yang
menyelenggarakan praktek pemagangan untuk benar-benar melaksanakan ketentuan yang berlaku dan memenuhi hak-hak para Peserta magang.
"Untuk itu, IHII berharap pernyataan sikap ini untuk menjadi perhatian bagi pihak-pihak terkait, khususnya bagi Pemerintah selaku pembuat kebijakan dan pelaksan fungsi pengawasan, dalam rangka memberikan perlindungan yang nyata bagi para peserta magang, baik di dalam maupun di luar negeri," pungkas Saepul Tavip. (Azwar)
Mereka sesungguhnya dipekerjakan dalam suatu hubungan kerja, yang memenuhi unsur-unsur adanya upah (walau dalam bentuk uang saku), perintah kerja, dan pekerjaan, namun mereka disebut sebagai peserta pemagangan dengan perjanjian pemagangan. Praktek pemagangan yang mempekerjakan peserta pemagangan sebagai pekerja semakin marak saat ini, dan dilakukan dengan perpanjangan sampai lebih dari setahun, tambahnya.
Tentunya praktek pemagangan semacam ini menjadi cara bagi oknum perusahaan untuk mendapatkan pekerja dengan upah murah, namun dengan target dan produktivitas yang sama dengan pekerja tetap lainnya.
Demikian juga dengan pelaksanaan magang di luar negeri. Peserta magang luar negeri, kecenderungannya diperlakukan sebagai pekerja yang melakukan pekerjaanpekerjaan yang dilakukan oleh pekerja biasa pada umumnya di sana. Dengan status sebagai peserta magang namun sesungguhnya mereka bekerja layaknya pekerja migran di luar negeri.
Indikasi mereka dipekerjakan sebagai pekerja di luar negeri disebutkan oleh Menteri Ketenagakerjaan RI yang menyatakan Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan terus berupaya meningkatkan jumlah peserta program pemagangan ke Jepang. Namun pemenuhan peserta pemagangan tersebut harus diimbangi
kompetensi, keterampilan kerja agar sesuai kebutuhan industri di negeri Sakura tersebut.
Bila melakukan magang mengapa harus dipersyaratkan kompetensi, keterampilan kerja sesuai kebutuhan industri? Bukankah bila memang sudah memiliki kompetensi keterampilan kerja berarti mereka adalah pekerja yang siap bekerja, bukan peserta magang.
Dengan status sebagai peserta magang maka mereka tidak bisa disebut sebagai pekerja migran Indonesia (PMI), karena mengacu pada Pasal 4 ayat (2b) UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI, pelajar dan peserta pelatihan di luar negeri bukan PMI. Peserta pemagangan ke luar negeri tidak dilindungi oleh Jaminan
Kecelakan Kerja dan Jaminan Kematian.
Baik pemagangan di dalam negeri maupun di luar negeri, terindikasi kuat adanya penyelundupan hukum sehingga peserta pemagangan dipekerjakan seperti layaknya pekerja pada umumnya, dan ini upaya untuk menghindari ketentuan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, serta UU No. 18 tahun 2017 tentang
Perlindungan PMI. Untuk peserta pemagangan di dalam negeri seharusnya mereka dijadikan pekerja dengan hubungan kerja yang jelas, dan mendapatkan enam program jaminan sosial yaitu JKN, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan
Kematian (JKm), JHT, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Demikian juga peserta pemagangan di luar negeri seharusnya diposisikan sebagai PMI yang mendapatkan perlindungan sesuai UU No. 18 tahun 2017, dan wajib mendapatkan JKK dan JKm serta dapat mengikuti JHT. Peserta pemagangan yang bekerja di luar negeripun beresiko mengalami kecelakaan kerja hingga kematian sehingga harus dilindungi JKK dan JKm.
Untuk memastikan pelaksanaan pemagangan di dalam negeri sesuai dengan ketentuan hukum positif ketenagakerjaan termasuk dilindungi oleh enam program jaminan sosial, dan peserta pemagangan di luar negeri harus dilindungi UU No. 18 Tahun 2017 serta dijamin oleh minimal program JKK dan JKm.
Untuk itu Institut Hubungan Industrial Indonesia menyatakan sikap :
1. Mendesak Kementerian Ketenagakerjaan RI untuk mengkaji ulang isi Permenaker No. 6 tahun 2020 dan Permenakertrans No. 8 Tahun 2008, dan disesuaikan dengan definisi dan ketentuan Pemagangan berdasarkan UU Ketenagakerjaan.
2. Mendesak Kementerian Ketenagakerjaan RI Cq. Pengawas Ketenagakerjaan melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih intensif dan tegas atas pelaksanaan pemagangan di dalam negeri maupun di luar negeri yang kerap melenceng dari ketentuan yang berlaku.
3. Mendesak kepada Perusahaan-perusahaan maupun Lembaga-lembaga yang
menyelenggarakan praktek pemagangan untuk benar-benar melaksanakan ketentuan yang berlaku dan memenuhi hak-hak para Peserta magang.
"Untuk itu, IHII berharap pernyataan sikap ini untuk menjadi perhatian bagi pihak-pihak terkait, khususnya bagi Pemerintah selaku pembuat kebijakan dan pelaksan fungsi pengawasan, dalam rangka memberikan perlindungan yang nyata bagi para peserta magang, baik di dalam maupun di luar negeri," pungkas Saepul Tavip. (Azwar)