Jakarta, Wartapembaruan.co.id -- Tato Suwarto, seorang mantan Anggota MPR-RI mengaku menjadi korban Mafia Tanah. Rumah miliknya yang bersertifikat Hak Milik dari Badan Pertanahan Nasional dengan Nomor 5922, kini tidak bisa lagi ditempatinya.
Sertifikat tanah dan bangunan diatasnya seluas 1.421 M2 di Jalan Mesjid Al Ridwan No. 8, RT.05 RW.09, Jatipadang Pasar Minggu, Jakarta Selatan tiba-tiba sudah beralih kepemilikan dengan mudah dan secara cuma-cuma (gratis) menjadi milik oknum yang diduga mafia tanah. Dengan cara lelang fiktif pada tanggal 20 Juni 2020 oleh KPKNL Jakarta.
Tato Suwarto yang berusia 80 tahun itu menuturkan, dirinya sempat kaget menerima kabar bahwa rumah yang ditempatinya selama lebih dari 30 tahun ternyata sudah dilelang atas permintaan oknum yang tidak dia kenal.
“Saya anggap ini lelang fiktif karena saya bukan nasabah dan tidak pernah menerima kredit dari pihak bank manapun, dan tidak pernah menjaminkan sertifikat," ungkap Tato lirih.
Tato juga menyatakan pihaknya tidak pernah dipanggil dalam pelaksanaan lelang, tidak kenal dengan orang yang bernama Dion Setiawan oknum dari perusahaan property.
Ia mensinyalir itu komplotan mafia tanah selaku penjualnya. "Saya sama sekali tidak pernah menerima uang hasil lelang. Lelang hanya dipake alat kejahatan untuk melegalkan praktek mafia tanah saja,” kata Tato menambahkan.
Melalui keterangan tertulis yang dikirim ke redaksi Rabu (05/01/2022) di Jakarta, Tato mengaku sudah melaporkan kasus praktek mafia tanah tersebut ke pihak Polda Metro Jaya dengan tanda bukti lapor nomor :TBL/7196/X/YAN.2.5/2020 tertanggal 03 Desember 2020.
Sudah satu tahun laporan polisi tersebut dilayangkan namun hingga kini tidak ada tindaklanjutnya. “Laporan saya bukannnya diproses malahan saya yang ditekan seolah-olah memberikan laporan yang tidak benar,” ungkap Tato mempertanyakan pelayanan publik di institusi Polri.
Kakek Tato mengaku dirinya sengaja dibiarkan dalam kedzoliman terpasung, teraniaya dan diterlantarkan oleh mafia tanah secara semena-mena. Perkaranya bisa saja dihilangkan (dark number) karena sampai sekarang tidak ada titik terang siapa tersangkanya dan kapan laporannya berlanjut ke Pengadilan.
Ia juga menganggap oknum polisi telah melakukan pembiaran atas kasus yang dilaporkannya. Akibatnya adalah atas permintaan pihak yang diduga mafia tanah, Pengadilan telah menerbitkan Penetapan Eksekusi Pengosongan yang dilaksanakan pada (05/11/2021) lalu.
Eksekusi pengosongan didukung oleh aparat keamanan. “Seakan-akan saya diperlakukan seperti penjahat. Saya diusir dari rumah milik saya sendiri karena praktek mafia tanah tapi polisi diam saja,” ujarnya.
“Saya meminta perlindungan hukum ke Kapolri karena ada pernyataan resmi Polri yang siap melaksanakan instruksi presiden terkait pemberantasan mafia tanah. Bahkan Menteri ATR/Ketua BPN berujar akan mengejar pelaku mafia tanah sampai kelangit setinggi apapun. Tapi laporan saya sejak tahun 2020 tidak digubris,” kata Tato menuntut bukti ucapan pemerintah.
Saat ini sang kakek Tato sudah terusir dari kediamannya dalam keadaan miskin tidak punya dana untuk hidupnya. Nasibnya terkatung-katung.
Dengan kondisi tubuh yang sudah uzur dan sakit-sakitan, kakek Tato tengah berupaya menuntut keadilan dan perlindungan hukum dari negara.
Indonesia sebagai Negara Hukum seharusnya memberikan jaminan hukum atas hak kakek Tato sebagai warga negara. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sedangkan Pasal 28H ayat (4) menyatakan, Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Kakek Tato mengharap ada advokat atau siapa saja yang anti mafia tanah untuk membantu menyelamatkan sertifikatnya dengan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya kakek Tato berpendapat, sifat teknikalitas yang tinggi dalam pelaksanaan lelang dan penetapan eksekusi pengosongan mengakibatkan proses pelaksanaan lelang dan eksekusi pengosongan tersebut menjadi ekslusif milik mafia tanah.
Bahkan mafia tanah yang memiliki jam terbang tinggi apalagi dengan keberanian terjun bebas dapat membangun konstruksi pelelangan tanpa pemanggilan kepada pemilik obyek lelang.
Karakter teknikalitas seperti itu telah menggiring hukum pelelangan dan eksekusi pengosongan pada posisi yang senantiasa “siap direkayasa”.
Pejabat lelang dan Aparat Penegak Hukum/Aparat Sipil Negara sebagai pejabat publik, lanjut Tato telah melakukan perbuatan yang tidak patut, tercela dan sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
Itu sebagai suatu penistaan terhadap hukum dan peradilan, dengan terang-terangan berpihak kepada komplotan mafia tanah sehingga telah menimbulkan ketidak-adilan dan ketidakpastian hukum (anomali hukum / unrechtszekerheid) dan hilangnya kepercayaan masyarakat (public distrust) yang berakibat pada runtuhnya citra hukum dan peradilan di Indonesia.
Pejabat Lelang dan Aparat Penegak Hukum/Aparat Sipil Negara yang menguasai hukum dan teknik hukum lelang yang tinggi tetapi senang berkolaborasi dengan mafia tanah yang jahat.
Ia menegaskan, baginya hukum sewaktu-waktu dapat berubah menjadi alat kejahatan (law as tool of crime). Perbuatan jahat dengan hukum sebagai alatnya merupakan kejahatan yang sempurna, sulit dilacak, karena diselubungi oleh hukum dan berada di dalam hukum itu sendiri.
Esensi dari permohonan perlindungan hukum dan laporan kepada Kepala Polri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo adalah Menegakkan Supremasi Hukum. Menjaga kehormatan dan keluhuran harkat dan martabat Pejabat Lelang dan Aparat Penegak Hukum/Aparat Sipil Negara. Check and balance di bidang peradilan. Mencegah Pejabat Lelang dan Aparat Penegak Hukum/Aparat Sipil Negara menjadi sosok manusia yang tidak tersentuh dan cenderung menjadi tiran.
Pejabat Lelang dan Aparat Penegak Hukum/Aparat Sipil Negara yang terlibat mafia tanah menurutnya layak dihukum seberat-beratnya karena merusak citra hukum dan peradilan di Indonesia. *