Maritim Labour Convention (MLC) 2006 adalah konvensi yang diselenggarkan oleh International Labour Organization (ILO) pada tahun 2006 di Genewa, Swiss. MLC 2006 bertujuan untuk memastikan hak-hak para pelaut di seluruh dunia dilindungi dan memberikan standar pedoman bagi setiap negara dan pemilik kapal untuk menyediakan lingkungan kerja yang nyaman bagi pelaut, demikian penjelasan dari Capt. Jaja Suparman, Kasubdit Kepelautan Ditjen Hubla dalam webinar nasional yang diselenggarakan Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran (CAAIP) pada hari Kamis, (30/9/2021) di Jakarta. Webinar nasional ini bertema “Dunia Kepelautan Indonesia saat ini, MLC, Aspek Hukum dan Peluang ke Depannya” .
Sementara itu, Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M. Mar, salah satu Pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI) yang juga menjadi narasumber webinar itu membawakan materi Pentingnya Pemahaman Hukum Maritim Guna Menjaga Profesionalitas Pelaut Indonesia, menyebutkan Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Founding Father negara Indonesia, Ir. Sukarno pernah berkata, "Indonesia adalah Negara Lautan yang ditaburi oleh Pulau – Pulau." Sukarno sudah sangat lama mengatakan hal tersebut, tapi sayangnya kita sebagai bangsa lebih sering berkata, Indonesia merupakan negara agraris.
Telah diketahui bersama, Indonesia memiliki 17.499 pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote. Luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut 3,25 juta km2 adalah lautan dan Hanya sekitar 2,01 juta km2 yang berupa daratan.
Berangkat dari Indonesia negara maritim dan pelautnya banyak yang bekerja pula di kapal-kapal asing. Maka tidak jarang pula, beberapa kali Indonesia mendapatkan masalah dari performa pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing. Sehingga hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya imbas buruk atas citra pelaut Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Tidak semua pelaut memahami aturan terkait hukum maritim, kepabeanan, imigrasi, dan konservasi, sehingga tanpa disadari ada tindakan yang berpotensi masuk ke dalam ranah hukum pidana yang ada di setiap negara.
Indonesia bercita-cita menjadi negara yang memiliki pelaut handal dan terbaik didunia, maka selain melalui dunia pendidikan maka aspek lain yang menjadi pendukung kualitas pelaut juga tidak kalah penting untuk dibekali. Selain sekolah dan komunitas, pelaut juga harusnya bisa dibekali lewat perusahaan pengerah pelaut ( Crewing Company) yang akan menambah kesiapan pelaut Indonesia berkompetisi di dunia internasional.
Menyikapi hal itu, Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, “Kita semakin paham, bahwa selamanya Indonesia akan butuh : Pelaut dan Kapal guna melakukan distribusi apapun sehingga kedaulatan Energi bisa tetap dipertahankan. Di sini kita mulai bisa melihat bahwa kita butuh standardisasi kemampuan pelaut Indonesia agar lebih sesuai dengan Karakter Bangsa dan kebutuhan user di seluruh dunia (STCW 1978 amandemen 2010),” jelasnya.
Lebih lanjut Capt. Hakeng menyebutkan, para pelaut sudah seharusnya memahami Hukum Maritim (Maritime Law) yang berlaku. Menurut kamus hukum “Black’s Law Dictionary” Hukum Maritim adalah hukum yang mengatur pelayaran dalam arti pengangkutan barang dan orang melalui laut, kegiatan kenavigasian, dan perkapalan sebagai sarana / moda transportasi laut termasuk aspek keselamatan maupun kegiatan yang terkait langsung dengan perdagangan melalui laut yang diatur dalam hukum perdata / dagang maupun yang diatur dalam hukum publik.
Ada dua penggolongan Hukum Maritim yakni Hukum Maritim Nasional dan Hukum Maritim International, sebut Capt. Hakeng. Hukum Maritim Nasional adalah adalah Hukum Maritim yang diberlakukan secara Nasional dalam suatu negara. Sedangkan Hukum Maritim Internasional adalah hukum maritim yang diberlakukan secara internasional sebagai bagian dari hukum antar bangsa/negara.
Ditambahkan Capt. Hakeng tujuan Hukum Maritim itu adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia dalam masyarakat maritim, supaya kepentingannya tidak dapat diganggu. Kemudian, setiap kasus yang menyangkut kemaritiman diselesaikan berdasarkan hukum maritim yang berlaku.
Lalu sambung Capt Hakeng lagi, subjek Hukum Maritim itu adalah manusia dengan pembagian peran seperti nakhoda kapal, awak kapal, pengusaha kapal, pemilik muatan, pengirim muatan, dan penumpang kapal. Disamping manusia, subjek Hukum Maritim lainnya adalah badan hukum, antara lain perusahaan pelayaran, ekspedisi muatan kapal laut (EMKL), International Maritime Organization (IMO), Ditjen Perhubungan Laut, Administrator Pelabuhan Kesyahbandaran, dan Biro Klasifikasi.
Dalam Hukum Maritim ada subjek ada pula objek yakni benda berwujud seperti kapal, perlengkapan kapal, muatan kapal, tumpahan minyak di laut, dan sampah di laut. Kemudian benda tak berwujud, perjanjian-perjanjian, kesepakatan- kesepakatan, surat kuasa, dan perintah lisan. Objek hukum maritim lainnya adalah Benda Bergerak, Perlengkapan kapal, Muatan kapal, Tumpahan minyak di laut. Untuk Benda Tidak Bergerak disebutkan Galangan Kapal.
Dalam webinar tersebut Capt. Hakeng mengingatkan kembali kepada para pelaut untuk mengerti dan memahami Hukum Maritim yang berlaku. Untuk Kasus di India ada beberapa hal menarik yang patut kita jadikan bahan introspeksi, Dia mencontohkan kejadian yang menimpa pelaut Indonesia di luar negeri yang akhirnya harus berurusan dengan hukum. ”Pada tanggal 03 September 2021, dilakukan penahanan terhadap 3 (tiga) orang Crew Kapal berbendera Korea. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dikarenakan saat pesiar di negara India, mereka tidak membawa dokumen pendukung. Para pelaut harus selalu ingat, bahwa kita adalah Citra bangsa Indonesia dimata bangsa lain ketika kita sedang bekerja diluar negri, karenanya ketika melakukan kegiatan apapun jangan hanya memikirkan diri sendiri, tapi pikirkan efeknya bagi saudara-saudara kita lainnya. Itu contoh kasus Hukum Maritim Internasional,” katanya.
Kasus yang diungkapkan Capt. Hakeng itu menurut Dr. Drs. Capt. H. Achmad Ridwan TE, S.H., M.H., M. Mar, Ketua Departemen Maritim Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) ada dalam Pasal 385 KUH – Dagang yang berbunyi Tanpa izin nakhoda, anak buah kapal tidak boleh meninggalkan kapal. Bila nakhoda menolak memberikan izin, maka atas permintaan anak buah kapal itu, ia wajib menyebut alasan penolakannya dalam buku harian, dan memberi ketegasan tertulis kepadanya tentang penolakan ini dalam dua belas jam.
Menurut Capt Hakeng lagi yang juga memberi contoh kasus Hukum Maritim Nasional yang menimpa crew kapal KMP Yunice yang tenggelam. “Kasus kapal penyeberangan. Pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh para nakhoda karena merasa bukan kewenangannya telah menyebabkan mereka berakhir dibalik jeruji. Kita amati dari kasus terakhir tersebut, waktu sandar kapal yang terlalu sempit hanya hitungan puluhan menit.
Sehingga seringkali menghilangkan/menegasikan aspek-aspek keselamatan, mengejar profit mengalahkan keselamatan. Kapal tidak dapat mengetahui dengan jelas isi muatan didalam truk-truk yang seringkali ODOL, dimana hal tersebut patut diduga menyebabkan kapal berlayar tanpa mengetahui stabilitasnya. Bahkan, seringkali jumlah penumpangnya secara tepat saja tidak dapat diberikan saat investigasi dilakukan,” pungkas Capt. Hakeng.