Penulis : Arisman Trisno
(Penulis adalah seorang pemuda di Kabupaten Sijunjung)
Wartapembaruan.co.id - Di penghujung tahun kemaren Kabupaten Sijunjung baru saja melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) bersamaan dengan Kabupaten Se Sumatera Barat kecuali Kabupaten Mentawai. Pilkada tahun kemaren merupakan pergelaran akbar pesta demokrasi bagi ranah lansek manih baik dari segi kandidat yang bertarung maupun masyarakat dan timses yang bermanuver lewat media sosial dan interaksi langsung di lapangan untuk memenangkan dukungannya. Serba serbi Pilkada tersebut sudah berakhir dan telah memunculkan pemenang dari sebuah kompetisi panjang yang melelahkan.
Disaat hawa politik pasca Pilkada baru mendingin dalam masyarakat Kabupaten Sijunjung, kini kembali dipanaskan dengan adanya pesta Pilwana serentak. Ada 16 nagari dari 61 nagari yang ada di Kabupaten Sijunjung akan menyelenggarakan pemilihan walinagari serentak bulan April ini. Berbagai persiapan dari panitia disetiap nagari juga terus dimatangkan demi terwujudnya demokrasi berkemajuan dinagari. Kandidat yang bertarungpun sepertinya sudah mempersiapkan berbagai strategi pemenangan, seperti mempromosikan program dan visi misi di media sosial dan media online. Strategi perangkulan masa pemilih menuju kemenangan sah-sah saja dalam demokrasi selagi memenuhi atutan main yang ditetapkan.
Disetiap pemilihan baik pada tingkat pemilu, pilkada dan pilwana pasti ada yang namanya isu-isu etnisitas, kesukuan, kedaerahan dan lain-lain yang dijadikan modal besar memenangkan satu kandidat. Pada pilkada Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Dharmasraya misalnya. Kedua daerah tersebut memiliki dua poros etnisitas masyarakat yang syarat akan kepentingan dan harga diri masing-masing. Di Pasaman ada isu etnis Minang dan Mandailing yang terus digaungkan sedangkan di Dharmasraya antara etnis Minang dan Jawa sama-sama dua poros masa yang mesti dirangkul. Apabila ada kandidat bisa mengelola dua etnis tersebut dengan baik secara politik maka kemenangan sudah didepan mata. Begitu juga isu kedaerahan secara politik, Kandidat yang berasal dari daerah tertentu sering kali meraup dan menjadikan daerah tersebut lumbung suara, seperti Nasrul Abit pada pemilihan gubernur Sumbar kemaren. Satu-satunya kandidat yang berasal dari Pesisir Selatan dari 4 kandidat calon gubernur, NA panggilan akrab Nasrul Abit berhasil meraup -+160 ribu suara dari +-220 ribu suara sah sedangkan 3 kandidat lain hanya meraup +-60 ribu suara saja.
Pilgub dan Pilkada lebih populer isu etnisitas dan kedaerahan, hal lain akan terasa pada pemilihan walinagari (Pilwana). Isu kesukuan berkemungkinan akan mewarnai strategi pemenangan kandidat disetiap pergelaran Pilwana. Bagaimana tidak pondasi berdirinya nagari saja sudah berbicara kesukuan di Minangkabau. Sebuah nagari baru bisa berdiri apabila sudah ada beberapa suku didalamnya. Politik kesukuan dalam pergelaran Pilwana mesti dilihat jeli oleh para kandidat yang berkompetisi. Kandidat mana yang bisa mengelolah isu ini dengan matang dan benar maka akan mudah jalannya untuk menang. Namun ada juga efek negatif dari isu pemilih berdasarkan kesukuan. Disaat salah satu suku yang memiliki pemilih terbanyak dan pemilihan diarahkan berdasarkan persepakatan warga suku untuk memilih utusan suku maka selesai sudah Pilwana itu. Kejelian kandidat menempatkan diri untuk populis disetiap suku, setengah suku yang ada atau sepertiga suku yang ada dalam sebuah nagari akan berefek positif meraup suara. 5 kandidat yang berkompetisi harus bisa meyakinkan pemilih secara adil dan merata atas program yang dikampanyekan. Kandidat harus memberi ruang terhadap keseluruhan pemilih dengan tidak terlalu mencamkan diri pada suku asal adalah strategi yang baik penulis rasa untuk memenangkan kompetisi.