Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
WARTA PEMBARUAN ■ Tuntutan obyektivitas penyelidikan kebenaran peristiwa “Km 50” adalah melalui Tim Pencari Fakta Independen. Semua pihak dapat menerima hasil penyelidikannya berdasarkan “independensi” kerjanya. Akan tetapi tuntutan atau usulan pembentukan ini ditolak oleh Pemerintah. Akhirnya apa boleh buat dua lembaga yang melakukan penyelidikan yaitu Mabes Polri sendiri dan Komnas HAM.
Penolakan Pemerintah atas pembentukan tim independen ini membuat wajar jika publik memiliki penilaian awal meragukan akan kerja baik Mabes Polri maupun Komnas HAM. Mengingat Polri menjadi pihak yang terlibat, maka Mabes Polri sulit untuk mendapat tempat utama dalam kepercayaan. Komnas HAM terpaksa harus dipercaya untuk melakukan penyelidikan di bawah pantauan “terbatas” publik.
Setelah kurang lebih tiga minggu bekerja tanpa sinyal hasil, maka anggota DPR Fadli Zon mempertanyakan melalui ungkapan di berbagai media. Dan pada hari Senin 27 Desember 2020 Komnas HAM melakukan konperensi pers tentang langkah dan hasil kerjanya. Harapan ada temuan penting yang perlu diketahui masyarakat belum kesampaian. Komnas HAM menyatakan belum selesai menunaikan tugasnya.
Ditunjukkan proyektil dan selongsong peluru yang ditemukan, lalu pecahan mobil yang juga didapat. Menurut pengamatan beberapa kalangan penunjukkan bukti ini sebagai kecerdikan Komnas HAM untuk mengamankan bukti melalui keterlibatan publik dalam menjaganya.
Meskipun demikian jika konperensi pers ini hanya sekedar memperlihatkan temuan tersebut sebenarnya terlalu teknis dan sederhana atas alat bukti yang masih interpretatif. Masyarakat berharap lebih dari itu dan informasinya yang ditunggu bersifat fundamental serta mudah untuk didapat cepat dari kerja Komnas HAM.
Dua hal terpenting yang semestinya terungkap yaitu pertama Komnas HAM menyatakan bahwa timnya telah mengetahui siapa penembak keenam anggota laskar FPI tersebut apakah benar Polisi atau pihak di luar kepolisian. Lebih hebat jika identitas pelaku penembakan diumumkan.
Kedua, berdasarkan kondisi jenazah maka Komnas HAM menyampaikan bahwa di samping penembakan juga ada atau tidak penyiksaan. Komnas HAM mampu menjelaskan arti lebam-lebam atau luka melepuh atau kulit mengelupas yang ada pada tubuh korban.
Pengumuman awal seperti inilah yang dibutuhkan dan perlu diamankan publik dalam pengawasan “terbatas” yang dapat dilakukan masyarakat terhadap kerja Komnas HAM.
Mengingat belum ada hal penting yang dapat ditangkap publik tentang kerja Komnas HAM maka posisinya saat ini Komnas HAM masih dalam bacaan antara diragukan atau dapat dipercaya. Wajar diragukan karena saat mempublikasikan bersama Polisi tentang temuan “revolver” yang menjadi bukti penembakan begitu yakin dengan detail penjelasan Kepolisian. Begitu juga dengan bantahan keras telah menemukan rumah tempat diduga terjadinya penembakan atau penyiksaan.
Apapun itu, publik masih akan menunggu finalnya hasil kerja Komnas HAM. Adanya suara yang mendorong keterlibatan lembaga internasional dalam penyelidikan kasus ini adalah bukti bahwa kerja Komnas HAM diragukan obyektivitas nya.
Dengan duka dan keprihatinan mendalam atas peristiwa yang menyakitkan ini akhirnya kita berdiam “wait and see” dalam ketertutupan dan gelapnya malam. Lokasi Km 50 pun telah dihancurkan, terbebas dari penghuni orang-orang yang biasa ramai melayani mereka yang berhenti untuk beristirahat. Suasana lingkungan kini kusam dan muram.
Tetap berdoa semoga Komnas HAM dapat menjawab keraguan dengan hasil yang terang benderang. Berdoa agar anggota Komnas HAM terbebas dari status terperiksa di hari akhir dan mendapat hukuman dari Allah SWT yang Maha Melihat dan Mendengar.
Alangkah ruginya jika menjadi unsur tak terlibat dalam perbuatan tetapi ikut terhukum karena menyembunyikan kebenaran. Sebaliknya pahala besar akan diberikan Allah SWT bagi mereka yang berlaku jujur dan memberi manfaat besar bagi kehidupan orang banyak (Azwar).
Bandung, 29 Desember 2020